PENGELOLAAN HARTA DALAM PERSPEKTIF QUR’AN HADITS

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang masalah
                 Manusia dijadikan fitrahnya cinta kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita, anak-anak, emas dan perak yang banyak, kuda bagus yang terlatih, binatang ternak seperti unta, sapi dan domba. Kecintaan itu juga tercermin pada sawah ladang yang luas, rumah yang mereka bangun bertingkat-tingkat, alat transportasi yang mereka pergunakan silih berganti, alat komunikasi dengan berbagai macam model dan berbagai perusahaan dan usaha yang mereka kawatirkan kebangkrutannya. Manusia tidak lepas dari kesenangan harta benda tersebut karena sudah menjadi kefitrahannya.
                 Kecintaan manusia kepada harta ini tidak hanya satu jenis harta, terbukti di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan kecintaan kepada harta ini dengan kalimat jamak yang berlipat-lipat yaitu “muqantharah” pelipatgandaan dari “al-qanathir”.[1] Maka tergambar di dalam ayat tersebut betapa kecintaan manusia kepada harta, bukan saja satu harta tetapi banyak harta dan bukan hanya banyak tetapi yang banyak itu berlipat ganda. Itulah sifat manusia terhadap harta benda dari jenis emas, perak dan lain sebagainya yang penulis sebutkan di atas.[2]
                 Islam tidak melarang umatnya untuk memiliki harta, bahkan mendorong umatnya untuk banyak harta. Terbukti Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umatnya melalui ayat al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan umatnya untuk berzakat, bersedekah, berinfaq, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, melaksanakan ibadah haji, membangun tempat ibadah dan tempat-tempat sosial, berbuat baik kepada tetangga dekat dan jauh, memuliakan tamunya, bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keuarganya, itu semua terlaksana dengan mempunyai harta benda.
                 Kesenangan terhadap harta ini juga ditunjukkan oleh para sahabat Nabi yang ikut berperang di Uhud. Kaum Muslimin awalnya menuai kemenangan yang luar biasa di peperangan ini. Kaum Muslimin mengejar musuh-musuh mereka dan menuruni lereng Uhud untuk memperebutkan harta rampasan perang. Alangkah banyaknya harta rampasan perang yang mereka peroleh dan didapatkan. Harta benda yang mereka senangi dan sukai itu telah melalaikannya hingga tidak lagi konsentrasi mengejar musuh-musuh mereka. Terjadilah perselisihan di antara mereka antara mengejar musuh atau mengambil harta-harta yang telah mereka tinggalkan.[3]
                 Demikian pula kehidupan Qarun di masa Nabi Musa a.s. yang hingga diabadikan Allah SWT di dalam QS.Al-Qashash ayat 76, Qarun dikenal sebagai orang yang sangat kaya. Kekayaannya membuat iri orang-orang Bani Israil. Karena kekayaannya itu pula, Qarun senantiasa memamerkan dirinya kepada khalayak ramai. Bahkan, begitu banyak kekayaan yang dimilikinya, sampai-sampai anak kunci untuk menyimpan harta kekayaannya harus dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat.[4] Ini cukup untuk membuktikan bahwa manusia sejak dahulu kala sudah cinta yang berlebihan terhadap harta.
                 Di antara manusia yang cinta kepada harta benda tersebut ada manusia yang terlalu cinta kepada harta benda. Memperturutkan kehendak nafsu untuk menguasai semua harta dengan berbagai cara. Hamka menyebutnya dengan orang yang hanya suka mengumpulkan harta benda tapi tidak pandai membelanjakan.[5] Lupa memakai pakaian yang bagus, lupa akan hak tubuhnya, lupa tidur, lupa makanan yang enak. Yang ada dalam benak dan pikirannya adalah harta benda yang akan terkumpul. Setelah harta terkumpul pun masih juga ingin kepada harta benda lainnya.
                 Banyak juga manusia yang sukses dengan harta benda yang dimilikinya. Selain pandai dalam mencari harta juga pandai dalam membelanjakannya. Kekayaan yang dimilikinya ditempatkan sebagaimana mestinya. Tidak berlebihan dan tidak berkekurangan. Harta benda tidak ditruh didepan atau dibelakangnya, akan tetapi ia taruh ditengah-tengah hidupnya. Inilah yang disebut dengan kesederhanaan. Kesederhanaan bukannya tidak sama sekali membutuhkan harta benda. Karena orang yang sederhana itu orang yang tidak terlalu condong dan tidak terlalu rebah. Sesuatu yang dibolehkan syara’ tidak mesti diambil semuanya ketika ada kesempatan untuk mengambilnya.
                 Kisah Nabi Ayyub a.s. menjadi contoh bagaimana beliau mengelola semua harta kekayaannya. Anak dan istri yang beliau miliki, harta benda yang begitu banyak, hewan ternak yang tidak sedikit jumlahnya. Dengan kelebihan harta benda yang beliau miliki, tidak lantas melupakan yang tidak berpunya. Kedermawanan dan tetap beribadah kepada Allah SWT membuat para Iblis gusar hingga ingin membuat beliau semakin jauh kepada Sang Pemberi. Tipu dayapun dilakukan oleh Iblis dengan menghilangkan nawa semua anak-anaknya, membakar habis semua harta bendanya, bahkan diberikannya penyakit kulit yang menjijikkan, hingga ditinggalkan istrinya.
                 Banyak huru-hara, fitnah, dan kesulitan yang timbul dalam dunia ini karena harta, namun orang tetap memerlukannya juga. Mencari harta tidak bisa diabaikan, kita berusaha memajukan ekonomi, industri, dan perburuhan. Manusia keluar pagi-pagi, berusaha disepanjang jalan, bersilang siur kendaraan, sepeda, sepeda motor, mobil, kereta api dan kapal udara, tujuannya adalah mencari harta. Berdirinya gedung yang tinggi nan bertingkat, gudang penuh sesak dengan barang perniagaan karena harta itu perlu untuk hidup. Bukan saja emas atau perak, bahkan uang kertas pun terpakai.
                 Harta juga bisa membutakan kaum Ulama di dalam berfatwa. Di Turki ada ulama yang memfatwakan bahwa pemerintahan Mustafa Kamal itu haram hukumnya, murtad, wajib diperangi, halal darahnya sebab ia hendak mengubah negeri Turki. Tetapi pada saat yang sama, tentara Inggris yang telah melabuhkan kapal perangnya di muka pelabuhan istambul, tidak ada fatwa hukumnya. Apakah sebabnya? Hamka menyebutnya tidak lain karena para ulama telah diberi harta oleh Inggris.[6] Harta tidak salah, harta tidak haram pada zatnya. Harta itu sendiri tidak boleh menanggung jawab. Yang salah adalah ketamakan manusia terhadap harta.
                 Kebanyakan kita mengatakan harta penting sekali untuk kesempurnaan masyarakat, pergaulan hidup. Kesukaran-kesukaran bisa dihindarkan dengan harta. Persangkaan itupun menjadi salah, sebab apabila harta benda telah masuk ke dalam negeri berlimpah-limpah, baik dahulu apalagi sekarang ini, maka penduduk negeri itu menjadi lupa daratan. Orang menjadi royal dengan hartanya. Kebutuhan hidup yang tidak perlu menjadi perlu. Kebutuhan hidup yang tidak pokok menjadi dipokokkan. Tidak lagi berbeda antara primer dan sekunder. Negeri ini telah mengobral harta untuk rakyatnya. Maka tidak jarang orang sengsara di negeri yang kaya. [7]
                 Harta benda boleh dijadikan jembatan, atau titian, untuk mencapai maksudnya. Dengan harta benda banyak maksud manusia tercapai dan kehendak berlaku. Dengan benda kita bisa menukar keperluan dan kebutuhan hidup. Orang menyangka harta itulah pangkal keselamatan, sehingga orangpun mberusaha mengumpulkannya dengan berbagai cara walau halal atau haram. Orang mencari harta dengan cara memindahkan milik orang lain ke dalam tangan sendiri. Sehingga banyak orang yang putus persahabatan karena menginginkan hartanya. Dan orang pun hendak berlaku kejam karena keinginan memiliki harta.
                 Uraian di atas cukuplah menjadi bukti bahwa manusia pada fitrahnya senang dan cinta kepada harta. Apabila yang terjadi adalah sekumpulan manusia maka disebut negara, institusi, perkumpulan ataupun organisasi. Banyak manusia yang sukses hidup dunia dan akheratnya karena harta. Tapi juga tidak sedikit manusia yang hancur hidup dunia dan akheratnya karena harta. Demikian pula suatu lembaga, organisasi ataupun sebutan lainnya. Lantas apakah Allah SWT membiarkan manusia sebagai ciptaanNya yang diberi fitrah senang kepada harta ini tidak diberi cara mengelolanya? Ini yang akan menjadi bahasan pada makalah ini.
B.   Rumusan masalah
                 Allah SWT menjadikan manusia dengan segala fitrahnya kita yakini ada petunjuk-petunjuk untuk menjalankan fitrahnya tersebut. Semisal pabrik otomotif membuat model kendaraan terbaru, maka dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk pemakaiannya, pengoperasian mesinnya, cara perawatannya dan lain-lain. Maka untuk membatasi masalah di dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas yaitu;
1.    Apa pengertian harta dan kedudukannya di dalam ajaran Islam?
2.    Bagaimana harta tersebut dikelola dengan perspektif Al-Qur’an dan Hadits ?












BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian harta
                 Al-Asfahani mendefinisikan “almaal summiya maalan likaunihi mailan abadan wa zailan” (harta dikatakan maal, karena selamanya cenderung kepadanya dan akan hilang). Terkadang di artikan dengan “’aradan” (barang-barang selain emas dan perak).[8] Apa saja yang membuat manusia condong rasa senangnya dan sesuatu itu pada akhirnya akan hilang disebut oleh Al-Asfahani sebagai harta asalkan selain emas dan perak. Bisa saja sesuatu itu adalah anak-anak kita dan para wanita sebagaimana yang disebut di dalam Al-Qur’an 2:14.
                 Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.[9] Sesuatu yang tidak bisa dimiliki dan disimpan tidak termasuk harta misalnya udara, oksigen, burung yang terbang dan lain sebagainya. Ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutib oleh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan bahwa harta itu pada mulanya terdiri dari emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki.
                 Musthafa Zarqa’ memberikan definisi yang lebih lengkap lagi bahwa harta adalah segala sesuatu yang konkrit bersifat material yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia.[10] Harta dalam pandangan ini tidak hanya terbatas pada emas dan perak, akan tetapi segala sesuatu yang bernilai bagi manusia. Seperti tanah perkebunan, pekarangan, berbagai alat transportasi, alat komunikasi, tabungan di Bank, Deposito dan lain sebagainya.
                 Definisi lebih rinci disampaikan ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa harta itu segala sesuatu yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasaan, seperti tanah, binatang, barang-barang perlengkapan dan juga uang.[11] Sedangkan menurut pedoman zakat yang diterbitkan suara Muhammadiyah, sesuatu dapat disebut dengan maal (harta kekayaan) apabila memenuhi dua syarat, yakni; 1) dapat dimiliki/disimpan/dihimpun/dikuasai, 2) dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak dan lain-lain. Sedangkan sesuatu yang tidak dapat dimiliki tetapi dapat diambil manfaatnya seperti udara, cahaya, sinar matahari dan lain-lain, tidaklah termasuk harta (maal).[12]
                 Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki berupa material dan dapat digunakan dalam menunjang kehidupan, seperti tempat tinggal, kendaraan, barang-barang perlengkapan, emas, perak, tanah, binatang, bahkan berupa uang atau sesuatu yang mempunyai nilai dalam pandangan manusia.
2.    Kedudukan harta di dalam ajaran Islam
                        Sebagaimana telah diuraikan di dalam bab pendahuluan, Allah SWT menjadikan fitrah manusia untuk senang kepada harta, dan pasti memberikan petunjukNya di dalam menggunakan fitrah itu. Sejak awal Allah SWT melalui firman-Nya memposisikan harta tersebut sebagai berikut;
       a.  Harta merupakan titipan dan amanah
                                    Manusia diberi amanah oleh Allah SWT berupa harta ini bukan hanya sekedar menerimanya sebagai rezeki, akan tetapi juga diberikan amanah di dalam pendistribusiannya. Tersebut di dalam QS.Al-Hadid/57 ayat 7 :
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡B ÏmŠÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; ֍ô_r& ׎Î7x. ÇÐÈ  
Artinya:”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”[13]

                        Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros. Posisi manusia hanyalah sebagai “wakil dan pemegang amanat”.
                        Rasulullah menegaskan firman Allah tersebut agar harta yang diamanatkan kepada umatnya sebagian dibelanjakan dan dinafkahkan kepada yang berhak menerimanya. Muncullah kewajiban zakat, infaq dan shadaqah bagi hambanya yang telah memenuhi aturan syar’i. Sabda Rasulullah SAW diriwayatkan dari Abi Abdurrohman Abdillah Bin Umar al-Khattab menempatkan perintah untuk membayar zakat sebagai pokok-pokok atau dasar agama Islam.[14]
b. Harta sebagai hiasan hidup
                             Manusia memiliki kecondongan untuk memiliki harta. Namun Allah sudah memberikan batasan bahwa harta yang disenangi manusia tersebut hanyalah sekedar hiasan dalam hidupnya. FirmanNya di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 14;
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Artinya :”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”[15]
                        Sudah menjadi naluri manusia untuk menyenangi dan mencintai hal-hal yang bersifat kebendaan, seperti terlukis dalam ayat tersebut. Paling tidak ada empat macam harta yang merupakan perhiasan dan kebanggaan dalam kehidupan ini. Setelah anak, istri kemudian menusul yang bersifat fisik dan materiil berupa uang yang banyak dalam bentuk tabungan, deposito, emas, perak, harta bergerak atau alat ransportasi, Namun pada jaman sekarang ini perlu adana pemaknaan al-khail al-musawwamati dapat diperluas pengertiannya menjadi kendaraan yang bermacam-macam model dan jenisnya. Hewan bisa berupa unta, kerbau, sapi dan kambing.Investasi di bidang pertanian, seperti; tanah, sawah, ladang, kebun yang luas atau dalam bentuk property. Semuanya itu termasuk hiasan, simbol dan lambang kebanggaan bagi manusia.[16]
c.  Harta sebagai (fitnah) ujian keimanan
                             Harta itu bukanlah sesuatu yang buruk dan bukan pula siksaan. Dengan harta Allah SWT menguji keimanan hambanya. Harta bukan alat ukur kemasyhuran seseorang, kesalehan seseorang. Dengan harta seorang hamba akan diketahui bersyukur atau kufur. Firman Allah SWT di dalam QS. Al-Anfal ayat 28;
(#þqßJn=÷æ$#ur !$yJ¯Rr& öNà6ä9ºuqøBr& öNä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù žcr&ur ©!$# ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã ÇËÑÈ  
Artinya: “dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar”.[17]

Allah akan memberikan pahala yang besar bagi hambanya yang bisa menghadapi cobaan atau fitnah ini.
d.  Harta sebagai bekal ibadah
     Islam memandang harta tidak semuanya milik hambanya. Ada campur tangan Allah SWT terhadap harta yang kita miliki. Untuk itu harta dipergunakan untuk ibadah kepada Allah SWT. Dengan harta seorang hamba bisa membayar zakat, bersedekah, menyantuni fakir miskin dan berbuat baik kepada sesama.
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
Artinya:” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[18]

3.    Manajemen pengelolaan harta dalam perspektif al-Qur’an Hadits
                        Pada dasarnya ajaran islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As Sunnah juga Ijma’ ulama banyak mengajarkan tentang kehidupan yang serba terarah dan teratur. Dalam pelaksanaan shalat yang menjadi ibadah paling sakral dalam Islam merupakan contoh konkrit adanya manajemen yang mengarah kepada keteraturan. Puasa, haji dan amaliyah lainnya merupakan pelaksanaan manajemen yang monumintal.
                        Fungsi manajemen harta sebagaimana manajemen pada umumnya yaitu berfungsi sebagai planning, organizing, controling, evaluating.[19] Hal ini telah tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai falsafah hidup umat Islam. Sebagaimana sabda beliau;
                                                                       2
       Artinya: “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas)”. (HR.Thabrani).
       Sedangkan Allah SWT juga memberikan petunjuk;
#sŒÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ   4n<Î)ur y7În/u =xîö$$sù ÇÑÈ  
Artinya:”Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(QS.al-Insyirah:7-8)

         Setiap apa yang diperbuat oleh manusia maka ia harus mempertanggung jawabkannya. Agama mengajarkan umatnya untuk membuat perencanaan yang matang dan itqan, karena setiap pekerjaan akan menimbulkan sebab akibat. Harta yang kita miliki hendaklah direncanakan penggunaan dan pemanfaatannya.
       1. Memakan harta yang halal
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  
Artinya:”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.al-Baqarah/2:168).

Quraish Shihab dalam menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa tidak semua yang dianugerahkan Allah di bumi ini semuanya halal bagi manusia. Maka Allah memerintahkan untuk memakan makanan yang halal lagi lagi baik. Beliau mengelompokkan makanan tersebut menjadi empat macam yaitu; wajib, sunnah, mubah dan makruh.[20] Hendaknya kita bisa mengelola atau memenej keempat macam ini dengan sebaik-baiknya.
Imam adz-Dzahabi memasukkan kedalam dosa besar bagi orang yang memakan dan mengonsumsi barang haram ini serta doa-doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah. Bahkan apabila harta yang dipergunakan untuk beribadah (haji) maka hajinya akan tertolak.[21] Demikian pula Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memandang bahwa memakan makanan yang haram itu menghalangi terkabulnya doa sebagaimana yang disabdakan Nabi “...Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan...?”[22]
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang ditentukan. Rambu-rambu tersebut diantaranya; carilah yang hlal lagi baik, tidak menggunakan cara bathil, tidak berlebihan/melampaui batas, tidak menzalimi, menjauhkan dari unsur riba, maisir (perjudian) dan gharar (ketidakjelasan), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infaq dan sedekah.[23] Inilah manajemen terhadap pengelolaan harta dalam Islam merujuk pada al-Quran dan al-Hadits.
2. Menggunakan harta dengan cara yang dibenarkan Islam
Ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an An-Nisa’ ayat 29:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Untuk mengetahui cara-cara yang benar, pertama-tama kita mesti tahu cara-cara yang salah/bathil. Antara lain; penipuan seperti dengan sengaja salah menimbang, menyukat, mengukur dan lainlain; tidak menepati janji/ melanggar sumpah; pencurian; judi atau maisir; larangan menimbun untuk diri sendiri; perbuatan-perbuatan lain yang bertujuan mengambil hak orang lain tanpa izin atau pengetahuan atau kemauan orang yang berhak.

            Seorang Muslim yang baik adalah mereka yang memperhatikan faktor dunia dan akherat. Bukanlah muslim yang baik, mereka yang meninggalkan urusan dunia demi kepentingan akherat, juga meninggalkan akherat untuk urusan dunia. Penyeimbangan aspek dunia dan akherat tersebut merupakan karakteristik unki dalam pengelolaan harta dalam Islam. Tugas seorang Muslim sepanjang jaman adalah mengembangkan teknik Manajemen terhadap harta yang dimilikinya ke dalam variabel-variabel di bawah ini sesuai dengan kondisi dari masa ke masa.
Sumber : Zarqa (1959), al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islamy Fi Tsaubihi al-Jadid
Sebagaimana yang dikutib Syafi’i Antonio dalam bukunya: Bank Syari’ah
            Pengelolaan harta dengn manajemen yang baik akan berefek kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Sebab harta yang kita punyai akan dipertanggungjawabkan penggunaannya di dunia terlebih di akherat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسآل عن اربع عن عمره فيما افناه وعن جسده فيما ابلاه وعن ماله من اين اكتسبه و فيما وضعه وعن علمه ماذا عمل فيه
Artinya : Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal; usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan. (HR.Abu Dawud).
            Rasulullah mengatakan dengan kalimat  وعن ماله من اين اكتسبه و فيما وضعه bukan tanpa maksud. Bahwa umatnya besok akan ada golongan dari orang-orang kaya harta akan tetapi minim pengelolaannya. Bila salah di dalam mengelola harta, maka janji Allah akan pasti meminta pertanggungjawabannya di akherat kelak.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari uraian tentang kedudukan dan manajemen harta di dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut;
Islam mendudukkan harta sebagai berikut;
a.  Harta merupakan titipan dan amanah
b. Harta sebagai hiasan hidup
c.  Harta sebagai (fitnah) ujian keimanan
d.  Harta sebagai bekal ibadah
            Harta yang dimiliki orang Islam hendaknya dikelola dengan manajemen yang baik antara lain; menggunakan harta dengan cara yang dibenarkan Islam, memakan harta yang halal. Semua harta yang dipergunakan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat. Allah dan Rasulullah mendorong umatnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan. Karunia tersebut harus diberdayakan untuk meningkatkan pertumbuhan baik materi maupun non-materi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfahani, al-mufradat fi al-faz al-qur’an, Riyadh; al-maktabah al-bazz,  juz 2.
Dewan Syariah Lazis Muhammadiyah, Pedman Zakat Praktis, Suara Muhammadiyah; cetakan I Th. 2004.
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2002.
Fahrur Mu’is,Muhammad Suhadi, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi, MQS Publising, cetakan I tahun 2009; Bandung.
Imam az-Dzahabi, Al-Kabair, alih bahasa Umar Mujtahid,LC, Cetakan II 2014; Ummul Qura, Jakarta.
Jurnal Iqra’, Manajemen Islami Perspektif Al-Qur’an,Volume 08 No.01 Mei, 2014.
Kementerin Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik (Pembangunan Ekonomi Umat); Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an  Seri 1, tahun 2012.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Tahun 2012
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol.2 (Pesan, Kesan, dan Keserasin al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta 2002.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Ali Audah, PT. Mitra Kerjaya Indonesia, Jakarta 2013, cetakan ke 41.
Musthafa Ahmad Zarqa’, al-Fiqh al-Islam fi Saubihi al-jaddid, Damaskus; Jami’ah Damaskus, 1946 halaman 119 seperti dikutip juga oleh Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern.
Mohammad Taufiq, Al-Qur’an In Word.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Halal wa al-Haram fi al-Islam, terjemahan ; Imam Fauzi, Ummul Qura Jakarta 2014.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, cetakan I Th. 2001 Jakarta.
Prof.Dr.Hamka, Falsafah Hidup (Memecahkan Rahasia Kehidupan Berasarkan Tuntunan Al-Qur’an Dan As-Sunnah), Cetakan I April 2015, Republika.
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut;mu’assasah ar-Risalah, 1991.



[1]  Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Tahun 2012, halaman 64.
[2]  M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol.2 (Pesan, Kesan, dan Keserasin al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta 2002, hal.34
[3]  Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Ali Audah, PT. Mitra Kerjaya Indonesia, Jakarta 2013, cetakan ke 41, halaman 302
[4]  Opcit, Al-Qur’an dan Terjemahnya, halaman 555
[5] Prof.Dr.Hamka, Falsafah Hidup (Memecahkan Rahasia Kehidupan Berasarkan Tuntunan Al-Qur’an Dan As-Sunnah), Cetakan I April 2015, Republika, halaman 168
[6]  Opcit, Falsafah Hidup..., halaman 204
[7]  Opcit, Falsafah Hidup..., halaman 211
[8] al-Asfahani, al-mufradat fi al-faz al-qur’an, Riyadh; al-maktabah al-bazz,  juz 2, halaman 618.
[9] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut;mu’assasah ar-Risalah, 1991, halaman 126
[10] Musthafa Ahmad Zarqa’, al-Fiqh al-Islam fi Saubihi al-jaddid, Damaskus; Jami’ah Damaskus, 1946 halaman 119 seperti dikutip juga oleh Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, halaman 17.
[11]  Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2002, halaman 17
[12] Dewan Syariah Lazis Muhammadiyah, Pedman Zakat Praktis, Suara Muhammadiyah; cetakan I Th.2004, halaman 17
[13]   Mohammad Taufiq, Al-Qur’an In Word.
[14]  Fahrur Mu’is,Muhammad Suhadi, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi, MQS Publising, cetakan I tahun 2009; Bandung, halaman 12.
[15]  Opcit, Mohammad Taufiq
[16] Kementerin Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik (Pembangunan Ekonomi Umat); Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an  Seri 1, tahun 2012, halaman 12.
[17] Opcit, Mohammad Taufiq
[18] Opcit, Mohammad Taufiq
[19] Jurnal Iqra’, Manajemen Islami Perspektif Al-Qur’an,Volume 08 No.01 Mei, 2014, halaman 51.
[20]  Opcit, M.Quraish Shihab, Vol.1, halaman 456-457
[21]  Imam az-Dzahabi, Al-Kabair, alih bahasa Umar Mujtahid,LC, Cetakan II 2014; Ummul Qura, Jakarta; halaman 222-223
[22] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Halal wa al-Haram fi al-Islam, terjemahan ; Imam Fauzi, Ummul Qura Jakarta 2014, halaman 514
[23] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, cetakan I Th. 2001 Jakarta; halaman 12

Komentar

ARTIKEL LAINNYA

Tugas Mandiri Terstruktur dan Tidak Terstruktur (1)