RESUME
PESANTREN MADRASAH SEKOLAH
(Pendidikan
Islam Dalam Kurun Moderen)
(Karya : Karel A.Steenbrink)
BAB I
DARI PESANTREN HINGGA
MADRASAH DAN SEKOLAH!
(Sebuah Tinjauan
Historis dari Zaman Kolonial Belanda
Hingga Zaman
Kemerdekaan Indonesia)
1.
Asal
Usul Sistem Pendidikan Yang Dualistis
Gubernur jenderal Van der Capellen memerintahkan mengadakan suatu
penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa (1819), dengan tujuan
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis di kalangan mereka serta untuk
meneliti pelaksanaan undang-undang dan peraturan pendidikannya, demikian juga
meneliti apakah guru-gurunya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Di dalam penelitiannya juga
dijumpai pendidikan Agama Islam dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan
pendidikan paling penting di antara orang-orang jawa. Se-abad kemudian Brugman
menganggap penelitian Van der Capellen tersebut hendak merumuskan satu
pendidikan yang berdasarkan pribumi murni disesuaikan dengan masyarakat desa
yang dihubungkan dengan Pendidikan Islam yang sudah ada.
Memang pada akhir abad yang lalu
, beberapa kali diusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan
pada kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikan umum. Kenyataannya
pemerintah selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan
pendidikan Islam. J.A. van der Chijs pada tahun 1865 setelah menjabat sebagai
Inspektur Pendidikan, dia sudah menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada,
berdasarkan alasan teknis pendidikan. Menurutnya pendidikan pribumi mempunyai
kebiasaan terlalu jelek sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi.
Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks
Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Sehingga tidak bisa dijadikan dasar
mengembangkan suatu sistem pendidikan umum.
Pada saatyang bersamaan justru di
Minahasa dan Maluku terdapat sekolahan yang dikelola zending tetapi mendapat
subsidi dari pemerintah. Sekolah ini hampir 100 persen memusatkan perhatiannya
pada Agama. Pelajarannya menggunakan Bibel. Membaca dan menulis kata-kata di
dalam bibel. Pelajarannya bersumber pada agama mereka saja. Seumpama pelajaran
menyanyi, maka materi menyanyinya adalah menyanyikan lagu-lagu gerejani.
Pelajaran ilmu bumi hanya sebatas pada ilmu bumi Palestina dan erjalanan Rasul
Paulus.
Guru-gurunya bertugas hanya untuk
mempersiapkan pemimpn agama bagi masyarakat setempat. Sehingga pekerjaannya
hanya sebagai pembina dan pelayan umatnya semata.
Dalam perkembangan selanjutnya,
sekolah Zending ini akhirnya masuk ke dalam
sistem pendidikan umum
gubernemen. Secara teknis, memasukkan sekolah tersebut ke dalam
sistem sekolah umum
lebih mudah dari pada memasukkan pesantren ke
dalam sistem pendidikan
umum. Hal itu antara lain disebabkan para murid sekolah tersebut sudah terbiasa
dengan tulisan latin. Bahasa Melayu,
yang merupakan bahasa asing bagi para murid, kenyataannya lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Arab.
Bagi para juru tulis dan pegawai gubernemen lainnya, bahasa Melayu merupakan
bahasa yang sangat
penting dalam tugas
sehari-hari mereka. Di samping
itu, pada sekolah-sekolah zending
tersebut sudah diberikan dasar-dasar ilmu hitung. Faktor lain yang tidak kurang pentingnya dalam menunjang proses
penggabungan tersebut, adalah disebabkan
sudah lama pemerintah mencampuri sekolah-sekolah tersebut ( karena
hubungan organisator antara pemerintah dan zending) dan zending juga mempunyai
hubungan yang lebih mudah dengan
pemerintah dibandingkan dengan islam. Oleh karena itu dapat dipahami, kalau sekolah zending
tersebut lebih mudah masuk sistem pendidikan umum dari pada lembaga penddikan
islam.
Pendidikan Islam ditolak oleh
pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1888, Gubernur Belanda menolak
memberikan dana keuangannya untuk mengembangkan sekolah-sekolah Islam. Maka
didirikanlah sekolah desa dengan menolak mengabungkan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam berdiri sendiri dengan modelnya sendiri. Lama kelamaan
pendidikan Islam akan menyesuaikan diri dan masuk ke dalam sistem pendidikan
umum.
2. Situasi
Pendidikan Islam pada awal abad ke-20
Akhir abad
ke-19 tidak ada data lengkap tentang pendidikan Islam yang terjadi di tanah
jawa. Tidak ada referensi yang lebih lengkap daripada referensi C.Snouck
Horgronye yang memberikan gambaran tentang lembaga pendidikan Islam di Jawa
Barat dan Jawa Tengah dan Aceh. Kebanyakan orang-orang Barat menggambarkan
pendidikan Islam di indonesia sebagai pendidikan yang agak anah dan kurang
relevan dengan sebenarnya. Pada tahun 1927
pendidikan pesantren masih belum dilaporkan sebagai lembaga pendidikan di
pemerintah.
Pendidikan
Al-Qur’an:Pendidikan Islam Yang Paling Sederhana
Pendidikan
Islam yang paling sederhana adalah pengajian-pengajian yang mengajarkan
bacaan-bacaan al-Qur’an surat-surat pendek, yang penting bisa untuk melaksanakan
ibadah. Selain itu juga diajarkan cara membaca huruf Arab, ilmu shalat, wudlu
dan beberapa pelajaran yang lain seperti tajwid tergantung pada kepandaian
guru. Pengajian ini terlaksana secara individual di rumah guru, langgar atau
surau. Murid-muridnya terdiri dari anak-anak seusia 6-10 tahun.
Tujuan
belajar ini tercapai apabila seorang urid telah menamatkan membaca al-Qur’an
secara keseluruhan. Kalau pengajian ini selesau biasanya iadakan upacara
tammatan atau khtaman, dibarengkan dengan upacara sunnatan bagi laki-laki
sebagai pertanda akil baligh dan wajib melaksanakan ibadah seperti shalat,
puasa dan sebagainya.
Pengajian Kitab:
Pendidikan Lanjutan
Perbedaan
engajian kitab dangan pengajain al-Qur’an adalah;
1. Para murid pengajian kitab ini
berasrama (pesantren)
2. Mata pelajarannya lebih kompleks
dan dimulai dengan pendidikan bahasa
3. Pendidikan tidak hanya diberikan
secara individual tetapi juga secara berkelompok.
Pelajaran
bahasa Arab diberikan di pesantren pada tingkat pertama dalam uraian pendek
berbentuk sajak. Pada pesantren yang lebih besar pengajaran bahasa Arab
dilakukan oleh para guru bantu yaitu para murid yang dipercaya oleh kyai.
Metode yang digunakan masih bersifat individual. Kesulitan dalam mempelajari
bahasa Arab ini disebabkan oleh kurangnya sarana pengajaran yang dipergunakan,
disipin yang kurang keras dan adanya kenyataan bahwa santri baru saja
meninggalkan rumah berpisah dengan orang tuanya.
Lama belajar santri
tidaklah sama, tergantung kyai dan bakat muridnya. Setelah menyelesaikan
pelajaran bahasa barulah santri belajar ilmu lainnya seperti ilmu fikih, tauhid
atau ushuluddin dan tafsir al-Qur’an. Sedangkan pelajaran selanjutnya adalah
tasawuf, hadits, hisab atau falak. Santri
baru boleh mulai kapan saja tidak terikat tahun ajaran tertentu. Santri
disuruh menyalin sendiri teks pelajarannya dikarenakan buku-buku belum tersebar
luas dan memberikan komentarnya di pinggir-pinggir teks tersebut.Lingkungan
pesantren terdiri dari rumah Kyai, tempat ibadah, rumah-rumah pondokan, ruang
memasak, kolam untuk mandi atau wudhu.
Para santri tidak pernah
membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima,
karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang.
Hubungan antara santri dan kyai pada umumnya merupakan hubungan ketaatan yang
tanpa batas, demikian pula kepada para “guru bantu”. Hubungan para santri
tidaklah dibatasi dengan tinggi rendahnya status orang tua santri. Kehidupan
sehari-hari diesantren seluurhnya diatur oleh para santri itu sendiri.Kyai
hanya mengajar kitab, menjadi Imam dan khatib shalat jumat, menghibur kalau ada
yang sakit sambil menasehati dan mengobatinya dengan doa-doa.
Beberapa catatan mengenai asal-usul pesantren
Secara
terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya,
berasal dari
India. Sebelum
proses penyebaran Islam di Indonesia,
sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa.
Setelah
Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.
Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji
bukanlah berasal dan istilah Arab, melainkan dari
India, Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau
dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan
istilah Arab, tetapi dari
istilah yang terdapat di India.
Di samping berdasarkan alasan
terminologi, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren
dapat dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul sistem
pendidikan pesantren. Soegarda Poerbakawatja misalnya, menyebut persamaan itu
dalam penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam
tradisi Hindu. Selanjutnya dia melihat beberapa unsur yang dapat diketemukan
baik dalam sistem pendidikan Hindu maupun pesantren di Indonesia yang tidak
dijumpai dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut
antara lain; seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak
mendapatkan gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dan para murid yang
pergi meminta-minta ke luar lingkungan pondok.
Akan
tetapi karena masalah ini penting bagi pealaian sarjana Indonesia moderen, maka
berikut ini akan dibicarakan beberapa aspek yang dapat menunjukkan bahwa
alasan-alasan untuk menyatakan asal-usul pesantren dari Hindu tidak cukup kuat.
Beberapa unsur yang dikemukakan Soegarda Poerbakawatja yang mengatakan bahwa
sistem pendidikan pesantren berasal
dari Hindu dan bukan dari Islam; ternyata kurang tepat, sebab
sistem tersebut dapat diketemukan
dalam dunia Islam. Begitu pula kebiasaan para santri untuk sering mengadakan perjalanan
yang ditemukan pada masa pra Islam
di Jawa, ternyata dapat ditemukan juga dalam tradisi Islam.
Mahmud Junus menyatakan bahwa asal
usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan
yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, ternyata dapat diketemukan di Bagdad ketika menjadi
pusat dan ibu kota wilayah Islam. Begitu pula tradisi menyerahkan tanah oleh
negara bagi pendidikan
agama, dapat ditemukan dalam sistem wakaf. Selanjutnya untuk unsur-unsur
lainnya dapat ditemukan juga dalam kebudayaan Islam. Mengenai istilah yang dipergunakan,
memang bukan dari
istilah Arab, walaupun asal usul istilah pondok mungkin berasal dari bahasa Arab
funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian
.
Sistem
Pendidikan Kolonial
Pola perbandingan dan dasar rujukan
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dikelola Gubernemen Kolonial Belanda,
pada akhir abad 19 mulai pendidikan liberal. Pendidikan kolonial diperuntukkan
bagi kelompok kecil orang Indonesia (kelompok berada) sehingga tahun 1870
terdapat pendidikan rakyat umat Islam Idonesia. Walaupun nampak dimulainya pada
awal abad 20 oleh “euthische politick”
Pendidikan
berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari
segi metode, rapi lebih khusus dari segi isi dan. tujuannya. Pendidikan kolonial
ini berpusat pada pengetahuan
dan ketrampilan duniawi yaitu
pendidikan umum.
Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan
ketrampilan berguna bagi penghayatan agama.. Hollandscb Inlandscbe
School (HIS) adalah merupakan
sekolah dengan status tertinggi. Sekolah kurikulum
7 tahun ini, khusus bagi murid-murid Indonesia yang berasal dari kalangan
keluarga terkemuka baik dari segi jabatan, keturunan, penghasilan maupun
pendidikan. Lulusan
sekolah ini dapat melanjutkan ke sekolah menengah Eropa.
Di
samping HIS, terdapat "sekolah desa" yang merupakan bentuk
pendidikan dasar yang terdiri dari 3 tahun pelajaran. Pengajarannya diberikan
dalam bahasa Indonesia. Lulusan sekolah desa ini dapat rnelanjutkan ke Standaardschool atau Vervolgschool, tetapi lulusan sekolah
tersebut belum memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah menengah. Setelah
sekolah desa, semenjak tahun 1921 murid juga dapat masuk ke Schakelschool yang memiliki kurikulum 5
tahun dan lulusan sekolah ini mempunyai kesempatan .yang sama dengan murid
lulusan HIS. Guru-guru
lembaga pendidikan Islam kebanyakan berasal
dari sekolah desa dan melalui sekolah ini mereka mengenal tujuan dan metode pengajaran Barat.
3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Sebagai Salah Satu Aspek
Pembaharuan Islam Dalam Permulaan Abad Ke-20
Awal abad ke-20 terjadi perubahan
besar dalam Islam di Indonesia. Perubahan pada abad ini dapat dibagi menjadi
4hal:
1. Semenjak tahun 1900 di
beberapa tempat muncul keinginan untuk kembali kepada Qur'an dan Sunnah yang
dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.Dorongan
ini terutama datang dari Muhammad Abduh dan murid-muridnya dari Mesir. Tema
sentralnya adalah menolak taqlid.
2. Dorongan kedua adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa
kolonial Belanda. Sesudah Syarekat Islam didirikan tahun 1912, aliran
didalamnya lebih menekankan Nasionalisme.
3. Dorongan ketiga datang dari
orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
4. Dorongan ke empat dari pembaharuan pendidikan Islam. Cukup banyak
orang Islam dan organisasi Islam yang tidak puas dengan metode tradisional dalam
mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pada awal abad ke-20, garis pemisah yang membedakan
antara kelompok muslim Indonesia kebanyakan ditentukan oleh doronga pertama,
yaitu ide yang berkenaan dengan taqlid. Kelompok ini yang menolak taqlid
sebagai reformis dan modernis dan penganut madzab Syafi’i sebagai ortodoks dan
konservatif.
Menurut H.Aboebakar Aceh , tokoh dan organisasi penting di
Indonesia abad-20 terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pertama, gerakan salaf atau salafiah juga disebut
gerakan reform. Kedua, gerakan modernis. Ketiga, gerakan politik.
Gerakan salaf diartikan sebagai gerakan yang berusaha keras
mengembalikan ajaran Islam pada relnya kaum salaf, kembali kepada Qur’an dan
Sunnah, mengikis bid’ah, khurafat takhayul serta klenik, membuka terus pintu
ijtihad dan menolak membabi buta dalam gelapnya taqlid. Kemudian juga ada
geakan modernis yang tidak menyetujui pandangan kritis terhadap sejarah Islam
serta tidak merasa perlu kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Gerakan
ini hana menginginkan perubahan luar ang bersifat kultural dan politik
ekonomis, bukan jiwa ajarannya. Antara lain gerakan Persatuan Umat Islam
Majalengka, Jami’atul Washliyah, Perti dan NU.
Tahun 1910-1930 sebagian besar perdebatan
di seputar masalah ushul fiqih, misalnya apakah seorang Islam wajib mengikuti
madzab atau langsung kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Perdebatan bukan masalah
teoritis akan tetapi seputar pandangan terhadap sejarah Islam. Gerakan
salaf menolak anggapan bahwa Islam tidak
cocok dengan kehidupan modern. Taqlidlah penyebab dari semuanya itu. Sikap para
Ulama yang terikat dengan pada salah satu aliran hukum atau madzab. Gerakan ini
menyatakan bahwa dengan taqlid, pemikiran yang bebas dan kreatif dalam Islam
sudah hilang. Maka dengan menolak taqlid akan tumbuh semangat baru dalam Islam.
Menurut hemat
kami, justru perbedaan dalam memandang perkembangan sejarah Islam itulah yang
dapat menjelaskan adanya perbedaan dalam gerakan Islam di Indonesia. Memang
semua dorongan untuk mengadakan perubahan pendidikan berasal dari gerakan
salaf yang menolak taklid
yang juga tidak lain berarti menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai jalan
untuk kembali kepada Qur'an dan
Sunnah. Walaupun secara praktis kedua unsur, yaitu isi dan metode, tidak dapat
dipisahkan, tetapi penekanannya dapat berbeda. Yang lebih penting dari
faktor bukan teologis tersebut adalah kenyataan bahwa gerakan salaf muncul di
perkotaan.
4. Pembaharuan
Pendidikan Islam Di Minangkabau 1906-1930
Tahun
1906 memberikan satu gambaran yang terperinci dan menarik tentang sebuah
sekolah di Surakarta, sekolah tinggi yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono
yang digabungkan dengan masjid, mempunyai 14 orang guru dan 325 orang murid,
Pelajaran agama terdiri dari membaca dan menghafal AI-Qur'an, kitab Safinah dan Ummul Barahim,Bahasa Arab, Ilmu Falak, Peredaran matahari, al-Jabar dan
Mantiq. Sekolahan ini (mambaul
ulum) dianggap sebagai pelopor pembaharuan pendidikan memasukkan
beberapa unsur pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.
Sebagian
besar tokoh pertaina gerakan ini belajar di Mekkah di bawah bimbingan Ahmad
Chatib yang mempunyai kedudukan tinggi dalam mazhab Syafii. Akan tetapi
sekerbalinya dari Mekkah mereka menolak taqlid pada Imam Syafii dan secara
tajam mulai menentangnya. Tokoh terpenting dalarn gerakan ini adalah Thahir
Jalaluddin yang sebagian besar hidupnya. dilewatkan di Singapura dan Malaysia,
tetapi tetap mempunyai hubungan yang erat dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim
Amrullah, Djamil Djambek dan lain sebagainya. Terutama
Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah, keduanya mempunyai peranan penting
dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
a. Abdullah Ahmad :
Seorang Modernisator yang
Menjadi Hollandisator
Sebagai
putera ulama, Abdullah Ahmad juga belajar di beberapa surau di daerahnva. Pada
tahun 1895, dalam usia 17 tahun dia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji dan mendalami agama. Ketika kembali
ke Sumatera Barat pada tahun 1899, dia langsung ke Padang
Panjang untuk membantu ayahnya
mengajar di surau. Tidak lama
kemudian pamannya meninggal dunia, dan menggantikannya mengajar di sana selama
3 tahun sambil berdagang kain. Tahun 1906 merencanakan mendirikan sekolah
menurut cara modern. Cita-citanya disebarluaskan melalui majalah al-Imam pada
tahun 1906-1910. Pada tahun 1907 Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Adabiyah di
Padang Panjang. Namun sekolahan ini gagal berjalan karena beberapa hal antara
lain lokasinya yang tidak strategis untuk pekerjaanya sebagai pedagang kain.
Dan yang lebih penting adalah adanya perlawanan tehadap sekolah tersebut
sehngga tidak ada muridnya. Sekolahan tersebut dipindah ke Padang.
Di
Padang sekolahan tersebut berjalan lebih baik dan maju. Pada tahun 1916 Sekolah
Adabiyah ini diakui oleh pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh
organisasi Islam dan mendapat subsidi penuh dari gubernemen. Sekolah ini
mengajarkan agama sebanyak 2 jam perminggu. Terbuka untuk semua orang yang
dapat membayar uang sekolah. Oleh karena itu sekolah ini sangat laku dan
disukai anak-anak pedagang. Pada tahun 1910 ia menerbitkan majalah al-munir
yang dapat bertahan hingga tahun 1916. Tahun 1920 ia mengadakan aksi untuk
mendirikan sekolah guru agama.
Dalam
bab ini juga dibicarakan organisasi Muhammadiyah dengn model gerakan yang hampir
sama dengan Abdullah Ahmad, misalnya menyelenggarakan pengajaran agama setiap
minggu bagi orang dewasa (tabligh), dan mendirikan taman kanak-kanak model
eropa dengan tambahan pelajaran agama.Di samping itu Muhammadiyah juga
mendirikan sekolah untuk guru pendidikan agama.
b. Murid-murid
Hamka: Hasil pertama yang dapat bertahan lama, madrasah diniyah dan sumatra
thawalib
Pembaharuan pendidikan Islam yang
banyak mengundang reaksi kalangan luar, bukanlah.dimulai dari kota besar
Padang, melainkan dari beberapa tempat yang lebih kccil di Padang daratan. Dorongan
penting adalah dari tokoh aneh bernama Zainuddin Labai el Junusi (1890-1924). Ketika masih kecil ia
masuk sekolah gobenemen selama 4 tahun. Karena ayahnya seorang ulama maka ia
belajar agama di surau ayahnya.
Pada tahun 1916, Zainuddin Labai
mendirikan Madrasah Diniyah, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan
agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti
sistem pengajian tradisional yang individual. Begitu
pula susunan pelajarannya berbeda `dengan yang lain, yaitu dimulai dengan
pengetahuan dasar bahasa Arab sebelum mulai membaca Al-Qur'an." Di
samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum terutama sejarah dan
ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi mata pelajaran tersebut menggunakan buku-buku
berbahasa Arab, dan dengan begitu mata pelajaran ini lebih bersifat ekstra
bahasa Arab dari pada ilmu bumi atau sejarah.
Zainuddin Labai dalam mengajar
bahasa Arab dan untuk mata pelajaran ini dia tidak memakai buku atau kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak yang begitu rumit, tetapi memakai buku
yang sederhana seperti juga dipakai di sekolah dasar Mesir. Sedangkan
untuk kelas tertinggi, dia selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di
Kairo maupun Beirut. Di
antara para murid H. Abdul Karim Amrullah banyak inisiatif, tahun 1915
misalnya, Bagindo Jamaluddin Rasjad memberikan ceramah tentang manfaat berorganisasi.
Sebagai tokoh agama dia tidak terpandang, tetapi dari pengaruh ceramahnya pada
tahun 1916 dikalangan santri surau Jembatan Besi, untuk mengkoordinir
pembelian sabun, berhasil didirikan koperasi dengan nama "Perkumpulan
Sabun". Kegiatannya agak cepat berkembang, di antaranya atas biaya
bersama, dikontraklah seorang tukang cukur, tukang jahit, tukang cuci pakaian
yang teratur secara sentral. Keuntungan koperasi tersebut pada tahun 1918
dipergunakan untuk membayar para guru di pesantren Sumatera Thawalib.
Tahun 1920 organisasi sejenis dari
surau “parabek” menggabungkan diri dengan Sumatera Thawalib. Perlahan-lahan
kitab-kitab tradisional diganti dengan kitab baru yang ditulis oleh ulama
Mesir.
Madrasah Diniyah pada permulaannya
bertujuan untuk memperbaiki pendidikan dasar yaitu pengajian Qur’an, sedangkan
Sumatera Thawalib meliputi para pelajar dari pendidikan agama lanjutan yaitu
pengajaran “kitab”.
Diniyah school pada tahun 1922
mendapat reaksi yang hebat . Terdapat 15 sekolahan yang mengikuti sstem seperti
ini. Pad tahun ini juga terbentuklah “persatuan murid-murid Diniyah School”.
Pada tahun 1919 Zainuddin Labai
berinisiatif mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau
dan menjadi ketuanya. Abdullah Jambek dan Adul Karim Amrullah menjadi penasehat
PGAI. Pengaruh keduanya tidak begitu besar higga pada tahun 1924 sebagian anggota
Sumatera Thawalib menjadi pro-komunis, sedangkan PGAI kontra-komunis. Pada tahun 1930 organisasi
Sumatera Thawalib lebih tertarik pada gerakan yang bersifat politik atas dasar
Islam yaitu “Persatuan Muslimin Indonesia” (PERMI)
5. Muhammadiyah
Menurut kesan pertama, memang terdapat
cukup banyak persamaan antara Muhammadiyah dengan inisiatif yang berkembang di
Minangkabau, terutama dengan pemikiran Abdullah Ahmad. Muhammadiyah dapat
berkembang jauh lebih baik dari pada pemikiran Abdullah Ahmad. Ahmad
Dahlan dilahirkan pada tahun 1868 sebagai anak salah seorang dari 12 khatib di
masjid agung Yogyakarta.
Pada
usia yang masih muda,
dia mcmbuat heboh dengan membuat
tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan
memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia, letak masjid yang
tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada di sebelah barat
agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil
penelitian yang sederhana, Ahmad Dahlan mengambil kesimpulan bahwa kiblat di
masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu
kepala yang bertugas menjaga
masjid agung dengan
cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dari tanda shaf yang ditulis dengan kapur.
Ahmad Dahlan
kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat menghadap kiblat. Akan
tetapi langgar tersebut terbakar.
Dia kemudian mendirikan lagi langgar yang persis menghadap ke barat dan
lantainya diberi tanda shaf tepat
menghadap ke arah Mekkah. Sesudah peristiwa ini atas biaya Sultan
Hamengkubuwono ke VII, Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah
kiblat tersebut lebih mendalam. Sekembalinya dari Mekkah, Ahmad Dahlan diangkat
sebagai khatib menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar "mas".
Dengan demikian, dia sudah masuk kelompok kaum bangsawan atau ningrat,
meskipun pada strata yang rendah.
Pada tanggal 1 Desember 1911 .Ahmad
Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Di
sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan
sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali
merupakan sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapat subsidi tersebut.
Seperti
halnya Abdullah Ahmad, Ahmad Dahlan bukanlah seorang ulama yang ahli. Kegiatan
pokoknya adalah berdagang. Mengajar agama baik di langgar yang dibangunnya
maupun kepada kelompok murid dewasa dan kanak-kanak adalah kegiatan sampingannya. Dia
bukan seorang
teoretikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering
menekankan semboyan kepada murid-muridnya “sedikit
bicara, banyak bekerja”.
Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib
yang terkenal di Mekkah.
Pada tanggal 18 November 1912 Ahmad
Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama dengan teman temannya. Tujuan
Muhammadiyah tcrutama untuk dalami agama Islam di kalangan anggota sendiri dan
menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Pada mulanya kegiatan
terpenting organisasi ini adalah tabligh,
yaitu suatu rapat di mana
diberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan masalah agama. Tabligh ini diselenggarakan secara
teratur sekali seminggu atau secara berkala
oleh para mubaligh yang berkeliling.
Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah
yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen.Pada tahun 1923, di
Yogakarta telah didirikan empat sekolah dasar Muhammadiyah dan mulai mendirikan
HIS dan sekolah pendidikan guru.
Pada tanggal 8 Desember 1921, Muhammadiyah sudah dapat
mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama.Di sekolah
ni diberi pelajaran oleh 2 guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool)
sdangkan Ahmad Dahlan mengajarkan ilmu agama secara lebih mendalam. Kegiatan
ini hampir sama dengan gerakan Abdullah Ahmad di padang, yaitu; pertama
kegiatan tabligh. Kedua, mendirikan sekolah swasta. Ketiga, mendirikan pondok
tempat pengkaderan.
Pada tahun 1917, membentuk bagian khusus untuk wanita yaitu
Aisyiyah. Kegiatannya meliputi mengadakan tabligh khusus wanita, menyantuni
fakir miskin, memperhtikan orang-orang sakit. Kegiatan ini berjalan dengan baik
lebih-lebih banyak kalangan memberikan zakatnya untuk kegiatan ini. Tahun 1942
Muhammadiyah sudah bisa mendirikan klinik bersalin dan balai kesehatan ibu dan
anak.
Pada tahun
1932 Muhammadiyah di Jawa Tengah telah mempunyai 165 sekolah model gobernemen.
6. Masyarakat Arab di
Jakarta, Surabaya dan Beberapa Tempat Lainnya.
Sejarah Islam moderen di Indonesia
bukanlah merupakan sejarah pribadi tertentu, melainkan lebih merupakan sejarah
organisasi. Memang semua organisasi yang besar lahir dan didirikan dari pribadi
yang kuat, tetapi yang menentukan garis besar perkembangannya bukanlah pribadi-pribadi tersebut, melainkan organisasinya. Keadaan
ini berbeda misalnya dengan pembaharuan di Mesir yang lebih terpusat pada
Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridho.Dengan demikian sejarah pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia juga merupakan sejarah perkembangan organisasi.
Di
samping itu terdapat pusat ketiga yaitu masyarakat Arab di Jakarta dan
kota-kota di Indonesia, yang akan dibicarakan berikut ini.
Pada
beberapa kota di Indonesia sering ditemukan suatu kelompok masyarakat Arab
pedagang. Mereka dihormati oleh orang
Islam Indonesia, terutama
mereka yang dianggap
keturunan langsung dari Nabi Muhammad, dan mendapat gelar sayyid. Pada tahun
1901, masyarakat Arab di Jakarta mengusahakan sekolah dan madrasah dengan
tujuan menyeleng garakan pendidikan umum dan agama yang lebih balk. Usaha
pertama ini gagal. Namun pada tahun 1905 organisasi
Al-jamiat Khairiyah berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab
di Jakarta.
Di
Indonesia, Al-Jamiatul Khairiyah (atau sering disebut Jamiat Khair) merupakan
organisasi pertama yang didirikan oleh orang bukan Belanda, yang keseluruhan
kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem Barat; dengan anggaran dasar,
anggaran rumah tangga, ketua, sekretaris, bendahara dan sebagainya. Dengan
begitu, orgnaisai tersebut memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
pengakuan pemerintah.
Kurikulum
madrasah tersebut terdiri atas pelajaran umum dan agama. Bahasa Inggris
diwajibkan sebagai bahasa kedua. Bahasa Arab di samping juga bahasa Melayu.
Untuk tenaga guru diambilkan dari guru bangsa Indonesia seperti H.Muhammad
Mansur. Pembaharuan dalam Islam terjadi juga pada masyarakat Arab ini.
Kedatangan Ahmad Surkati dari Sudan untuk melaksanakan kontrak mengajar tahun
1911 sangat berpengaruh terhadap pembaharuan Islam. Ide lainnya masuk melalui
majalah Al-Manar dari Rasid Ridha dan Al-Iman yang terbit di Singapura.
Tahun
1910 terjadi perselisihan dalam penggunaan sayyid bagi keturunan Nabi Muhammad.
Ada yang pro dan kontra. Yang tidak menghormati gelar sayyid kebanyakan dicap
reformis atau modernis dan kemudian mendirikan organisasi Jamiah al-Islam wal
Irsyad al Arabia yang secara umum disebut Al-Irsyad. Dengan segera Al-Irsyad
mendirikan sekolah sendiri di Jakarta. Al-Irsyad , terutama pemimpin besarnya,
Ahmad Surkati untuk waktu yang cukup lama , sangat berpengaruh terhadap gerakan
reformasi Islam di Indonesia.
7. Menolak Sambil Mengikuti di Minangkabau: PERTI
Pada tahun 1913 Ahmad Surkati
rneninggalkan Jamiat Khair dan menggabungkan diri dengan
Al-Irsyad yang berdiri pada tahun itu. Dari kasus ini terlihat bahwa gerakan
reformis muncul dari gerakan yang konservatif, atau gerakan yang rnenolak
taglid muncul dari gerakan yang tetap memegang
taqlid. Pada umumnya gerakan yang
konservatif (yaitu yang tetap memegang taqlid)
baru didirikan setelah terbentuk gerakan reformasi. Sebagai contoh dapat
dikemukakan bahwa beberapa bulan setelah guru-guru reformis di Minangkabau
mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), para guru yang lebih tradisional
kemudian mendirikan perkumpulan Persatuan Ulama Sumatera.
Pada
tahun 1930 PERTI mendapatkan pengakuan resmi pemerintah sebagai badan hokum. Diperkirakan pada tahun
1942 sudah terdapat 300 sekolah PERTI dengan 45.000 orang murid. Sampai tahun 1947
sekolah PERTI, yang memasukkan mata pelajaran umum belum begitu banyak.
Organisasi ini juga aktif di luar bidang pendidikan, khusus nya membangun
sejumlah masjid dan rumah yatim piatu. Scsudah tahun 1945 PERTI juga membangun
klinik dan rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi).
8. Menolak dan
Mencontoh di Jawa: Nandlatul Ulama
Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia pada
tahun 1914, setelah beberapa tahun belajar di Mekkah seperti banyak orang
Indonesia lainnya. Dua tahun sesudah kepulangannya, dia
mendirikan Jamiah Nandlatul Wathan bersarna
H. Mas Mansur yang baru
kembali dari belajar di Mesir.
Mesir waktu itu
dapat dianggap sebagai pusat pengajaran yang lebih modern dari pada di Mekkah.
Jamiah ini bertujuan memperbaiki
pendidikan agama melalui suatu
sistem yang tersusun lebih baik, antara lain dengan sistem klasikal.
Pada tahun 1922 Mas Mansur masuk
persyarikatan Muhammadiyah, tugas pendidikan ditinggalkannya, dan dia juga
keluar dari Jamiah Nahdlatul
Wathan.
Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah adalah orang yang mudah bergaul
dengan sesamanya, baliau dapat bekerjasama dengan Mas Mansur walaupun Mas
Mansur sudah keluar dari Jami’ah Wnahdhatul Wathan. Dia juga menjadi anggota
Indonesissce Studie Club yang dipimpin Dr.Sutomo. Ketika di Surabaya didirikan
kepanitiaan yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki, dia juga
menjadi anggota panitia ini, walaupun kegiatannya tertunda karena di Arab Saudi
sedang terjadi peperangan Wahabi.
Abdul Wahab Hasbullah tidak jadi dikirim karena pengetahuan
bahasa yang kurang sehingga mengundurkan diri dari kepanitiaan tersebut. Alasan
yang lain adalah karena beliau akan membela madzab Syafi’i di Mekah yang
kebanyakan dikuasai Wahabi. Maka Mas Mansurlah yang dikirim ke Mekah karena di
cap Wahabi. Abdul Wahab Hasbullah akhirnya membentuk panitia sendiri yang bernama
“Comite Merembuk Hijaz” Bermula dari komite inilah pada tanggal 31 Januari 1926
didirikanlah Nahdhatul Ulama (NU) memang muncul sbagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari
kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela madzab Syafi’i dan menyaingi
organisasi Muhammadiyah dan al-Irsyad.
Dengan di dukung K.H.Hasyim ‘Asy’ari, tokoh yang penuh kharisma
menjadikan NU cepat populer. Di awal
pertumbuhannya NU merupakan organisasi
kota dengan ulama di Surabaya. NU juga mendirikan madrasah di kota yang
muridn-muridnya sebagian besar dari sudah mengikuti pendidikan gubernemen.
Sampai dengan tahun 1945 NU masih tetap merupakan organisasi yang belum diatur
secara tegas. Karena sejak awal berdirinya NU tidak mempunyai rumusan yang
jelas sebagaimana Muhammadiyah. Maka apa yang dilakukan pimpinan pusat NU
adalah penyelenggaraan publikasi berkenaan dengan fatwa dan kegiatan ekonomi
untuk membantu keuangan pimpinan karena sebagian besar Kyainya harus mencari
nafkah sendiri.
Melalui murid
yang juga keponakannya sendiri yaitu Moh.Ilyah dan Abdul Wahid Hasyim putra
Hasyim Asy’ari, pendidikan di perbarui. Dengan persetujuan KH.Hasyim Asy’ari,
Muh.Ilyas memasukkan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf
latin, ilmu bumi, sejaran dan bahasa melayu. Pada tahun 1931 Moh.Ilyas pergi ke
Mekah untuk menyelesaikan studi agama bersama Wahid Hasyim yang lebih muda 4
tahun. Pada tahun 1935 Wahid Hasyim kembali ke Indonesia kemudian
menyelenggarakan madrasah di Tebuireng.
9. Persyarikatan
Ulama dan K.H. Abdul Halim dari Majalengka: Ahli Pendidikan dari Jawa Barat
K.H. Abdul Halim Majalengka dilahirkan pada tahun 1887 dari
keluarga ulama yang mempunyai hubungan akrab dengan kelompok priyayi. Antara
tahun 1909-1911 Abdul Halim belajar di Mekkah menurut pengajaran mazhab Syafi’i dari Ahmad Khatib.
Teman sepengajarannya antara lain, Ahmad Dahlan
Dan Wahab Hasbullah.
Sewaktu berada di Mekkah dan Jeddah, K.H. Abdul Halim sudah
tertarik pada beberapa lembaga pendidikan yang tidak memakai sistem halaqah, tetapi memakai ruang klas dan
kurikulum tertentu serta memasukkan beberapa peralatan seperti papan tulis
lengkap dengan meja dan kursi. Sekembalinya dari
Mekkah, Abdul Halim segera mulai
kegiatannya dengan pembaharuan sistem pendidikan. Oleh karena itu didirikanlah
perkumpulan 'Hayatul Quluh' pada
tahun 1911. Pada tahun 1915 'Hayatul Qulub' dilarang, oleh pemerintah Belanda,
namun dia tetap setia pada pemikirannya bahwa harus ada gabungan antara dorongan ilmu
pengetahuan agama
dan pengetahuan sosial
ekonomi.
Pada tahun 1916 Abdul Halim mendirikan madrasah yang hanya
mengajarkan agama seperti pesantren tradisional dengan metode klasikal. Pada tahun 1917 mendirikan persyarekatan
Ulama. Pada tahun 1920-an pesyarekatan ini berhasil mendirikan rumah
yatim-piatu, percetakan dan perusahaan tenun.Pada tahun 1932 mendirikan “santi
Asrama” yaitu sekolah berasrama. Disamping diberikan pelajaran agama dan umum,
juga diberikan pendidikan keterampilan seperti pertanian, pertukangan dan
ukiran kayu. Pada tahun 1930-an lulusan sekolah ini banyak yang tidak
mendapatkan pekerjaan di instansi negeri
ataupun swasta.
Pada tahun 1945 Persyarekatan Ulama digabungkan dengan
perkumpulan yang hampir serupa dengannya, dan menjadi nama Persatan Umat Islam
(PUI). Perkumpulan ni melakukan kegiatannya di bidang sosial pendidikan di
beberapa kota di Jawa Barat, dengan Majalengka dan Sukabumi sebagai pusatnya.
PUI berusaha menggabngkan pendidikan agama, umum dan keterampilan akhirnya
tidak bisa berlanjut disebabkan;
1. Penilaian yang rendah terhadap pendidikan keterampilan praktis dan
penghargaan yang tinggi terhadap pendidikan yang mengarah kepada pekerjaan
halus.
2. Keinginan untuk menyesuaikan dengan kurikulum resmi pemerintah
3. Banyak anggota PUI yang terjun ke dunia politik dan mengabaikan sekolah-sekolah
yang mereka dirikan.
10. Pembaharuan Pendidikan di Sumatera Utara: Jamiatui Washliyah di Medan
Pada
tanggal 25 November 1927, sejumlah pedagang kecil dan menengah di Medan
mendirikan suatu cabang Muhammadiyah. Pimpinan yang paling aktif adlah Muhammad
Said, yang dahulu menjadi ketua syarekat Islam. Kegiatannya adalah tabligh,
mendirikan sekolah dengan memakai sisten gubernemen, membentuk organisasi
wanita, kepanduan, dan lain sebagainya.
Tanggal
30 Nopember 1930 di Medan di dirikan Jamiatul Washliyah yang bertujuan untuk
mengembangkan agama dalam arti yang agak luas. Seperti perkumpulan pada umumnya
Jami’atul Washliyah hendak mendapatkan pengakuan dari pemerintah, kepengurusan
Jami’atul Washliyah terdiri dari ketua sekretaris, bendahara, komisaris dan
penasehat umum yang dipegang oleh Muhammad Yunus.
Pada
tahun 1933 dibentuklah sebuah komisi yang bertugas mengadakan inpeksi ke seua
madrasah Jamiatul Washliyah setiap enam bulan sekali. Pada tahun 1940 sudah
disusun peraturan resmi untuk mengadakan ujian dan pemberian ijazah yang
dikeluarkan kantor pusat di Medan.
Semenjak
tahun 1936, setiap 3 tahun diadakan muktamar yang besar untuk membicarakan
problematika yang agak umum, dan juga merupakan demonstrasi yang bersifat
propaganda untuk membuktikan perkembangan perkumpulan ini. Seperti halnya Muhammadiyah,
perkumpulan ini juga mempergunakan dua sistem pendidikan, Di satu pihak mendirikan
sekolah swasta dengan memakai sistem pendidikan gubernemen, di mana di samping
pelajaran umum juga diberikan pelajaran agama. Di samping itu juga didirikan
sekolah yang mengajarkan agama dan hanya sedikit menarnbah pelajaran umum.
11. Perkembangan Sejak Tabun 1945. Kebijaksanaan Pendidikan Departemen Agama Republik Indonesia: Cita-cita Konvergensi
Dalam
uraian terdahulu, terlihat bahwa sejak permulaan
abad ke-20 telah muncul beberapa prakarsa untuk mengadakan pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia. Dengan mendirikan departemen agama, maka
beberapa kegiatan ,pemerintah yang berhubungan dengan agama yang sudah ada
semenjak zaman kolonial dan penjajahan Jepang tetap dilanjutkan. Demikian juga
beberapa bagian dari departemen lain dimasukkan kedalam departemen tersendiri.
Pada
zaman kolonial Belanda telah berdiri sebuah kantor agama, dengan nama resrninya
"Kantoor voor Inlandsche Zaken." Sedangkan pada zaman Jepang ber-
nama "Shumuka" yang berfungsi sebagai penasehat umum
dalam masalah agama.
nama "Shumuka" yang berfungsi sebagai penasehat umum
dalam masalah agama.
Pada pendidikan agama, pada pertengahan tahun 1944, KH. Abu
Dardiri Kepala KUA di karisidenan Banumas sudah mengusulkan agar diberikan
pengajaran agama di semua sekolah agar menjadi anak yang baik budi pekertinya
dan taat.
Dalam salah satu nota Islamic Education in Indonesia yang
disusun oleh bagian pendidikan departemen agama pada tanggal 1 September 1956
digambarkan sebagai berikut;
1. Memberi pengajaran agama di
sekolah negeri dan partikelr
2. Memberi pengetahuan umum di
madrasah
3. Mengadakan pendidikan guru
agama (PGA) dan pendidikan hakim islam negeri (PHIN)
Jenis sekolah ketiga
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pegawai di deprtemen agama. Sedangkan
jenis pertama dan kedua jelas dihubungkan dengan pendidikan dualistis yang
muncul di Indonesia.
Lembaga agama itu
memang berkembang ke arah yang mirip dengan sistem sekolah. Namun is berbeda
karena lebih menekankan pengajaran agama. Sistem pendidikan ini kita sebut
dengan sistem madrasah. Sistem
madrasah dan pengajaran agama yang diberikan dengan sistem sekolah termasuk
wewenang Departemen Agama. Tujuan utarria dari kebijaksanaan Departemen Agama
ini adalah untuk menghapuskan perbedaaan antara sistcm sekolab dan madrasah.
Melalui konvergensi yang
secara perlahan-lahan diharapkan kedua sistem pendidikan yang terpisah sejak
permulaan abad XX, ini dapat dipersatukan lagi. Dalam garis besarnya,
kebijaksan.aan Departemen Agama selalu bertujuan untuk mcwujudkan persatuan.
a. Pendidikan Agama
di Sekolah
Kebijaksanaan
Departemen Agama yang konsekuen dengan sistem sekolah yang diatur di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dimaksudkan supaya pendidikan agama yang
sudah ada diperluas dan dikembangkan.
Tokoh besar yang pikirannya
mendasari sikap Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini adalah Ki Hajar Dewantara,
pimpinan Taman Siswa dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertarna (.31
Agustus - 27 November. 1945). Dia memandang pendidikan agama terutama hanya
sebagai pendidikan budi pekerti, dan tidak setuju dengan pendidikan agama
sebagai pengantar fiqh secara umum dalam agama Islam.
Pada tanggal 27 Desember 1945,
Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat (BPKNP) mengadakan pembicaraan mengenai garis besar pendidikan nasional.
Hasil pernbicaraan tersebut
membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih terinci mengenai garis besar
pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang
disusun oleh panitia
tersebut, diusulkan tentang pendidikan agama sebagai berikut;
1.
Pelajaran
agama dalam semua sekolah, diberikan pada
jam pclajaran sekolah.
2.
Para
guru dibayar oleh pemerintah.
3.
Pada
sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
4.
Pendidikan
tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
5.
Para
guru diangkat oleh Departemen Agama.
6.
Para
guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
7.
Pemerintah
menyediakan buku untuk pendidikan agama.
8.
Diadakan
latihan bagi para guru agama.
9.
Kualitas
pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
10.
Pengajaran
bahasa Arab tidak dibutuhkan
Khusus
untuk 6, 8, 9, dan 10 nampaknya dimaksudkan sebagai kritik ahli pendidikan
terhadap pengajaran agama
pada umumnya.
Peraturan
resmi pertama
tcntang pendidikan agama di sekolah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pendidikan
tahun 1950 nomor 4, dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 no. 20, (tahun 1950
hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta). Undang-Undang
Pendidikan tahun 1954 No. 20
antara lain berbunyi 1. Dalam sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran
agama; orang tua mu rid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran
tersebut. 2. Cara menyelenggarakan
pcngajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.
Peraturan bersama Departemen
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada
tanggal 20 Januari 1951 menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas
IV Sekolah Rakyat selama 2 jam perminggu.
Pada sidang MPRS tahun 1960,
ditetapkan juga bahwa pada universitas umum dimasukkan juga pendidikan agama
dengan memberikan kebebasan mahasiswa mengikuti pelajaran Agama yang dianutnya.
Pada tahun 1970 Menteri Agma
berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama yang bertujuan agar semua kelas
tertinggi SD dan SMP mendapatkan 6 jam pelajaran agama per minggu
b. Pendidikan Umum
di Madrasah
Dalam
rangka konvergensi, Departemen Agama menganjurkan supaya pesantren yang
tradisional dikembangkan menjadi sebuah Madrasah, disusun secara klasikal,
dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama. Dalam usaha mendapatkan
pengkun sosial, Departemen Agama membuat suatu rumusan yang mengarah pada;
pertama, berusaha mempengaruhi pendapat umum yang mengatakan bahwa madrasah
bukan hanya mengajarkan pendidikan agama. Kedua, berusaha mepegaruhi pendapat
umum yang mengatakan bahwa peljaran umum Madrasah tidak akan mencapai tingkat
yang sama dengan sekolah.
c. Suatu Persoalan:
Apakah Perkembangan Pendidikan Akhirnya hanya untuk kepentingan pegawai saja?
Dalam Repelita pertama (1969-1973)
Departemen Agama hanyamerencanakan perluasan pendidikan guru agama dan lembaga
pendidikan pegawai Departemen Agama seperti IAIN. Penddikan madrasah tidak
dapat dikembangkan secara luas, sekurang-kurangnya diberikan kepada PGA dan
IAIN.
Untuk
dapat memasuki lembaga ini harus ditempuh melalui jenjang formal yaitu bagi
tamatan madrasah ibtidaiyah atau SD dapat rnelanjutkan ke PGA, tamatan madrasah
tsanawiyah atau SMP untuk PGAA, sedangkan untuk IAIN harus tamat StviA atau
Aliyah. Akan tetapi untuk memasuki PGA atau IAIN akan lebih baik jika seseorang
menamatkan pendidikan madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, atau aliyah, karena
mereka telah mempunyai dasar agama dan bahasa Arab.
Di
pihak lain, Departemen Agama .juga tidak berhasil mengembangkan mata pelajaran
agama di sekolah umum, sehingga mata pelajaran agama yang diberikan di sekolah
umum mampu bersaing dengan yang diberikan di madrasah. Selain itu bahasa Arab
bukan merupakan pelajaran wajib di SMA, berbeda dengan bahasa Inggris yang
menjadi bahasa asing pertama di sekolah tersebut.
BAB II
Profil Guru Agama Moderen:
Dari Kyai Haji (K.H) ke Drs.
H.A.R. Gibb menyatakan; Islam
sesungguhnya bukan hanya sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban
yang lengkap. Pendapat ini sangat sering dikutip oleh orang-orang Islam
Indonesia.
M.Natsir
dan Sidi Gazalba mengatakan bahwa; Islam meliputi semua aspek masyarakat dan
kebudayaan serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka
sesungguhnya mereka itu lebih banyak bicara tentang impian, dari pada bertitik
tolak dari kenyataan yang terjadi di sebagian besar bumi Indonesia. Agama tidak
hanya meliputi hubungan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga antara manusia
dengan manusia, dunia dan masyarakat, sejauh yang di atur dengan wahyu yang
diturunkan Allah. Pada Bab ini disajikan hasil observasi di Pesantren dengan
dialog antara peneliti dengan responden. Maka kesimpulan Bab ini bersifat
relatif.
1. Kyai (Guru) versus penghulu
(pegawai): Klasifikasi pemimpin agama dalam zaman kolonial
Dalam garis besarnya, pimpinan umat
Islam dalam permulaan abad ini dapat dibagi dalam dua kelompok; Pertama,
terdiri dari pegawai yang pada umumnya menjadi penghulu, yang mengurusi masjid,
anggota pengadilan agama. Kedua, para guru agama. Kalau mereka pemimpin pesantren, mereka disebut guru,
kyai, ulama, atau syaikh, sebutan untuk guru yang tua yang dihormati dalam
lingkungan yang lebih luas. Antara kedua kelompok
di beberapa tempat sering terjadi pertentangan yang cukup tajam.
Dalam masyarakat tradisional,
seorang dapat menjadi kyai atau disebut kyai karena ia diterima masyarakat
sebagai kyai, karena orang datang mita nasehat kepadanya, atau mengirimkan
anaknya untuk belajar kepada kyai.Tidak ada syarat formal untuk menjadi kyai,
akan tetapi ada syarat non formal untuk menjadi kyai. Menurut Aboebakar Aceh
faktor yang menyebabkan seseorang dmenjadi kyai besar yaitu; 1. Pengetahuannya.
2. Kesalehannya. 3. Keturunannya. 4. Jumlah muridnya.
Pada uraian berikutnya, akan
dibicarakan perubahan yang terjadi dalam kedudukan kyai dan guru agama pada
umumnya, terutama yang menyangkut keempat aspek, tersebut yaitu : prinsip
keluarga atau keturunan, ortopraksi (kesalehan
seorang kyai), pengabdiannya pada masyarakat, prinsip interpretasi yang
berwibawa (pengetahuannya). dan "prinsip wahyu' atau kyai sebagai perantara
wahyu.
2. Faktor Keluarga
Salah seorang dengan melalui
silsilahnya yang rnenghubungkan dia dengan tokoh tertentu, mendapatkan
kedudukan yang khas dan istimewa dalam kalangan kaum mukminin. Unsur
ini berdasarkan pemikiran bahwa kekuasaan dan keistimewaan seseorang,
diteruskan secara langsung dalam turunannya. Satu-satunya kelompok Islam yang
menerima unsur keturunan dan memberikan dasar teologis pada unsur ini, adalah
kaum Syiah dengan ajaran mereka tentang iman. Namun ajaran tentang iman itupun
tidak memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari umat Islam,
Dalam kalangan pesantren tradisional
unsur keturunan memegang peranan yang penting. Kyai untuk pesantren
tradisional, mungkin anak dari kyai, seperti pepatah Belanda menyatakan: "buah
apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Atau kalau ayahnya bukan
seorang kyai, mungkin salah seorang familinya seorang kyai, atau kakek dan
keturunan yang lebih atas adalah kyai. Tetapi hat ini bukan merupakan syarat
yang mutlak. Setiap
orang dapat menjadi kyai, asal dia oleh masyarakat diterima sebagai kyai.
Setiap orang dapat membuka pesantren, asal ada santri yang belajar kepadanya.
Kalau banyak kyai meneruskan fungsi ini dari ayah mereka, atau dari
keluarganya, maka hal itu bukan merupakan sisa-sda dari sistem kasta dalam
agama Hindu, karena sistem kasta tersebut tidak secara ketat dipraktekkan di
Indonesia.
Agar pesantren tetap dilangsungkan oleh keluarga, seorang
kyai akan lebih suka mengawinkan anaknya dengan santri yang belajar di
pesantrennya, atau anak dari kyai yang dekat. Kalau kyai tersebut tidak mempunyai
anak yang dapat meneruskan pesantrennya, dia akan lebih suka menyerahkan
pesantrennya pada salah seorang murid yang pandai, yang dimasukkan dalam
lingkungan keluarganya, dengan mengawinkannya dengan anak perempuannya.
Beberapa
Keberatan Terhadap Prinsip Keturunan
1. Bahaya inteelt atau
perkawinan dalam hubungan keluarga dekat yang dapat menyebabkan lemah keturunan.
2. Kontinuitas yang tidak begitu terjamin
dengan sistem keturunan.
3. Kurang meratanya
penyebaran pesantren. Tempat di mana pesantren muncul, kebanyakan tidak
tergantung pada perencanaan yang lebih luas, tetapi hanya tergantung pada
tempat tinggal pendiri pesantren itu sendiri.
4. Satu keberatan yang bersifat motivasi
teologis terhadap unsur
keturunan ini adalah, kultus pribadi. Kelompok reformis yang menolak taklid, antara lain
mempergunakan pintu ijtihad untuk
dapat langsung memahami Qur'an dan Hadits, menolak kebiasaan menghormati dan
ziarah kubur, dan doa kepada dan atas nama orang yang mati dengan kata-kata
yang agak keras.
Kesimpulan
Pendidikan
Islam telah dimasukkan kedalam organisasi yang lebih besar dari pada
organisasi lokal yang meliputi dan mencakup satu pesantren seperti dalam
system pendidikan
tradisional. Hal ini berarti guru bukanlah merupakan komponen pendidik yang
berdiri sendiri, akan tetapi seorang guru haruslah mengikuti kurikulum yang
disusun oleh orang lain, dalam anti dia harus mengikutinya dan
melaksanakannya. Pembagian tahun pengajaran, pembagian kelas, mendirikan
madrasah yang baru, juga sudah tergantung pada lingkungan yang lebih besar. Perkembangan di Indonesia
juga menunjukkan bahwa unsur keturunan tidak
lagi yang paling menentukan dan unsur pengetahuan lebih diperkuat dalam sistem
pendidikan Islam di Indonesia.
Unsur
pengetahuan di sini berarti pengetahuan yang dapat dirumuskan secara umum,
ditetapkan dengan ijazah. Selain itu, lingkungan sosial yang lebih besar
(karena banyaknya tugas organisatoris diambil alih oleh Departemen Agama dan
oleh organisasi masyarakat yang besar), juga ikut melemahkan unsur keturunan
ini.
3. Faktor
Kesalehan
Tingkah laku Nabi Muhammad
sampai unsur yang paling kecil, menjadi norma yang harus dicontoh oleh umat
sesudahnya, terutama dalam mazhab Syafi’i yang memberikan kehormatan besar
terhadap hadits. Mazhab Syafii merupakan mazhab yang terpenting di Indonesia. Demikianlah,
kehidupan Nabi Muhammad bukan merupakan pusat dalam Wahyu sendiri, karena ia
hanya merupakan alat dari turunnya wahyu. Akan
tetapi ortopraksi atau kesalehan hidupnya mendapatkan penekanan yang lebih,
karena Nabi adalah makshum, memainkan
peranan yang besar dalam
praktek Islam pada abad-abad
sesudahnya.
Prinsip
kehidupan yang saleh tidak hanya penting bagi kehidupan pribadi Nabi, tetapi
juga memainkan peranan bagi umat Islam selanjutnya. Walaupun sebagian besar
umat Islam menganggap ucapan syahadatain di
muka dua orang saksi sebagai satu-satunya kriteria keislaman, sebagian besar
umat Islam juga minta
agar praktek tersebut jadi kriteria muslim sejati. Tetapi pada sikap orang muslim yang
awam, hukum ini tidak selalu diserahkan pada Tuhan semata. Sangat sering
ditemukan bahwa kedudukan ini diberikan secara istimewa kepada orang yang
menonjol karena kesalehannya.
Kriteria Kesalehan untuk Kyai Tradisional di Indonesia
Seorang kyai yang baik, harus selalu
bersedia memberikan pelajaran, perintah dan nasehat yang baik kepada umatnya.
Jadi yang termasuk dalam tipe kesalehan seorang kyai, adalah bahwa dia mengajar
tanpa lelah dari pagi hingga sore, selalu bersedia pergi ke desa tau kota lain
untuk mengajar agama atas permintaan dan tanpa meminta uang, selain ongkos
jalan. Memang, mengajar adalah satu pekerjaan yang baik, dan oleh karena itu
dia tidak dibayar untuk pekerjaannya. Meskipun demikian, para kyai tradisional
sering menerima hadiah dalam bentuk beras, benda-benda berharga dan kadang-kadang
uang, tetapi kebanyakan kyai yang masyhur mengurus hidupnya secara sederhana.
Tetapi menurut cara tradisional, kyai
tidak diperkenankan memungut uang untuk pendidikannya. Dan untuk pengajaran
tradisional, sampai sekarang memang belum dipungut bayaran dari para santri.
Pada umumnya yang diharapkan seorang kyai, tidak hanya
bersungguh-sungguh dan tepat melaksanakan semua kewajiban agama, tetapi dia
juga akan banyak melaksanakan ibadah sunnat, Dia juga melaksanakan puasa
sunnat Senin dan Kamis, atau kadang-kadang harus berpuasa sepanjang tahun
hampir tanpa putus.
Perubahan dalam
Konsep Kesalehan Tekanan pada Segi intelektual
Dapat
diambil beberapa kesimpulan bahwa terdapat perubahan mengenai sifat-sifat
kesalehan. Perubahan pertama berhubungan dengan sikap: terus menerus
mengorbankan diri kepada
pengajaran. Mengenai pengamalan doa, puasa sunat, membaca Al-Qur'an dan
sebagainya, masih tetap dihargai. Akan tetapi pada sekolah-sekolah yang tidak
berasrama, terutama pada sekolah yang dihargai karena ijazahnya seperti IAIN, PGA dan Madrasah
Negeri maupun swasta, contoh kehidupan sehari-hari para guru tidak begitu
penting untuk pendidikan para muridnya, karena pergaulan antara para murid
dengan guru, tidak begitu akrab seperti di pesantren.
Sebagai kesimpulan dapat dirumuskan
bahwa syarat kesalehan tidak lagi dipentingkan pada guru madrasah moderen,
sebagaimana yang diminta pada
kyai tradisional. Dapat juga dikatakan telah terjadi sejenis perpecahan menurut beberapa aspek.
Pada guru agama rnemang tidak perlu dipentingkan pribadi yang utuh seperti guru
agama tradisional. Yang dipentingkan bukanlah pribadi yang utuh atau
pengajaran yang dicerminkan dalarn tingkah lakunya
sehari-hari. Pada guru agama moderen, unsur intelektual lebih dipentingkan
daripada unsur kepribadian dan unsur-unsur lainnya.
4. Faktor Kewibawaan Penafsiran
Di samping Nabi, dijumpai beberapa kelompok orang di kalangan umat Islam
yang mendapatkan kedudukan khusus berdasarkan kewibawaan penafsiran dalam
masalahmasalah agama. Kelompok
ini pertama, adalah para sahabat Nabi
dan tabiin, karena mereka mempunyai
hubungan langsung dengan mufassir pertama
yaitu Nabi, mendengar kata' nya atau melihat tingkah lakunya. Setelah itu,
kewibawaan untuk menafsirkan AI-Qur'an dan Al Hadits diberikan kepada pendiri 4
mazhab fiqh.
Penolakan Reform is Terhadap Kewibawaan Interpretasi
Berpegang erat kepada ulama besar dalam tradisi dunia Islam dianggap sebagai penyimpangan dari jalan yang benar, dan dianggap sebagai penyebab utama dari kejumudan. Alasan yang sering dikemukakan dalam menentang taglid adalah bahwa Al-Qur'an dalam banyak ayatnya menganjurkan supaya orang mukmin meneliti dan berfikir sendiri. Demikian
pula pendiri mazhab itu sendiri, juga menganjurkan untuk meneliti dan berfikir
sendiri. Selain itu, diberika.n juga alasan yang lebih rasional, yaitu
kebebasan intelektual dihambat dan ditiadakan, oleh cara yang rnernbabi buta.
Kewibawaan Interpretasi Kyai Tradisional Diambil Alih oleb Organisasi, Tetapi Kewibawaan di Bidang
Syariat yang Diakui Seluruh Negara Belum
Muncul
Penolakan
taglid kepada 4 mazhab dan penolakan taglid kepada tingkatan hirarki yang
paling dekat yaitu ulama lokal terkenal tidak hanya tcrjadi melalui pemikiran
teologis apapun, karena iklim sosial para ulama dan kyai telah berubah pada
abad ke-20 ini. Beberapa faktor yang bisa disebut sebagai perluasan lingkungan (schaalvergroting) memang menurunkan kewibawaan individual kyai sebagai penafsir
syariat dan juga kewibawaan mazhab Syafii.
Penggabungan diri kepada organisasi mempunyai pengaruh terhadap penentuan
isi ajaran itu sendiri. Hampir semua organisasi mempunyai bagian untuk menjawab
pertanyaan di bidang akidah dan fiqih, terutama penafsiran al-Quran dan
al-Hadits, yang disebut dengan majlis fatwa atau tarjih.
Walaupun
pada tahun 1970 Depatemen Agama berusaha membentuk komisi fatwa yang bersifat
nasional agar mebahas tentang ushul fiqih yang berlaku nasional, UUD RI
tetaplah mendua dalam hal ini. Di satu sisi agama diakui sebagai salah satu
tiang masyarakat, tetapi tetap tidak ada agama yang istimewa dan tidak ada
agama resmi. Menteri agama diserahkan oleh orang yang beragama Islam walaupun
mengurusinya bukan hanya umat Islam. Menteri agama tidak bisa dianggap sebagai
mufti atau qadi sebagaimana negara Islam. Oleh karena itu masalah fiqih tetap
diselesaikan oleh komisi fatwa nasional.
5. Guru Agama Sebagai Perantara
antara Manusia dan Tuhannya
Dalam
halaman berikut ini, faktor perantaraan akan diartikan sebagai kenyataan,
bahwa seorang muslim akan mendapat kedudukan
khusus berdasarkan kepercayaan bahwa ia
merupakan perantara antara manusia dan Tuhannya. Dengan begitu, Nabi Muhammad
merupakan contoh yang universal bagi semua orang yang beriman. Kalau dia
berbuat sesuatu dengan cara tertentu, cara itu adalah cara yang terbaik. Kalau
dia tidak mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, maka hal itu
dipandang sebagai sesuatu yang tidak baik. Dasar dari hadits ini adalah
pribadi Nabi yang merupakan penjelmaan dari wahyu yang universal.
Nabi tidak hanya
mendapatkan kedudukan khusus dalam masyarakat Islam karena dia merupakan
perantara turunnya Al-Qur'an, juga pribadinya sendiri merupakan pengantar
turunnya wahyu Ilahi, karena pribadinya dianggap sebagai contoh manusia
sejati. Demikian juga sesudah kedatangan nabi
Muhammad yang bersifat universal dan terakhir, masih terdapat pendapat yang
analog tentang umat manusia yang setiap kali menyeleweng dari ajaran yang
sempurna. Hal ini menimbulkan kepercayaan bahwa Tuhan akan mengirim seorang
mujaddid, pembaharu, setiap abad kepada umat manusia.
Peranan Aspek Perantara dalam Gambar Kyai
Tradisional
Dalam
sistem pesantren tradisional, hubungan antara guru dan murid sangat erat.
Seorang santri tidak hanya secara permanen hidup dalam lingkungan pesantren,
dekat dengan rumah kyai dan taat secara absolut kepada kyai. Kalau dia sudah
keluar dari pesantren dia akan
sering mengunjungi gurunya dahulu seperti pada bulan puasa, pada kesulitan
atau pada peristiwa yang mendalam dalam kehidupannya. Kalau gurunya sudah
meninggal, muridnya kadang-kadang
masih mau mengunjungi makamnya.
Fungsi kyai di bidang pendidikan sering
merupakan fungsi, yang tidak terbatas pada memindahkan dan memberikan
penafsiran tentang sumber Islam. Kyai juga merupakan perantara kalau salah
seorang santri akan memasuki wilayah Ilahi. Di samping itu kyai dalam
lingkungannya sering melaksanakan peranan yang sama antara orang awam dengan
wilayah Ilahi.
Beberapa Perkembangan
Didaktis-Organisatoris, di Samping Keberatan dalam Bidang Akidah, Meniadakan
Faktor Perantaraan
Semua perkem-bangan itu menurunkan
fungsi kyai sebagai perantara antara manusia dengan bidang-bidang ke-Ilahian.
Di samping faktor non teologis tersebut, faktor teologis, yaitu penolakan
terhadap taqlid, berakibat terputusnya hubungan hirarkis keilmuan antara guru
dan mu-rid secara ketat. Menolak taqlid juga berarti .anjuran untuk meneliti
secara langsung sumber agama.
Jadi, walaupun ide bah wa seorang kyai
mempunyai kekuasaan istimewa dan dapat berfungsi sebagai perantara antara
orang awam dengan Allah, belum hilang sama sekali, perkembangan pendidikan dan
perluasan skala yang berkaitan dengan pendidikan itu, serta diperkuat oleh
beberapa pemikiran teologis moderen, sudah membuat hubungan antara guru dan
murid menjadi lebih demokratis.
Mengenai kyai yang juga dapat berfungsi
sebagai pemberi syafaat, hal ini
secara khusus diperdebatkan berdasarkan alasan teologis. Kelompok reformis
secara keras menolak ide bahwa doa, bacaan AI-Qur'an dapat berpahala dan
dipindahkan kepada orang lain, terutama orang yang telah meninggal. Khusus
pembacaan surat Yasin yang dianggap sebagai surat yang sangat keramat, yang
kalau dibaca dapat menghilangkan semua dosa orang yang meninggal, ditolak
secara keras, dengan menyatakan bahwa semua itu syirik dan kafir. Sebagai alasan,
dikutip AI-Qur'an 53:39 dan 30:54 yang menyatakan bahwa pada hari kiamat setiap
orang akan dimintai pertanggungjawaban dan balasan secara individual, di mana
pahala yang dipindahkan kepada orang lain tidak berhubungan dan tidak dapat
diterapkan.
Prinsip
perantardan dalam Islam moderen makin lama makin kurang penting dalam sosiologi teologis, yaitu suatu cabang
ilmu pengetahuan yang tNak hanya melihat struktur umat Islam dalam kenyataan
sosiologis, melainkan memperhatikan juga, pemikiran teologis. Seluruh
perkembangan ini memberikan jalan kebebasan individual untuk lebih aktif
mencari sumber agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
6. Struktur Baru Masyarakat Islam
Judul ini merupakan penutup uraian
mengenai profil guru agama Islam di Indonesia. Sebagai mana telah diuraikan
sebelumnya, kami berusaha menghindari dua pendekatan yang ekstrim. Di segi lain kami akan memusatkan perhatian pada Islam
modern di Indonesia dan persoalan organisasi dalam perspektif agama.Dengan
demikian, kami hanya memberikan tinjauan sosiologis dari kenyataan yang ada
melainkan melihat juga konskuensinya di bidang ajaran yang muncul dari
perubahan sosiologis tersebut.
Dari segi lain, kita tidak
hanya menganalisa organisasi Islam modern menurut tujuan yang pertama, yaitu
menentang kolonial, atau tujuan kerjasama ekonomi atau cita-cita agama Islam,
tetapi kita harus juga memperhatikan bentuk Islam modern yang mempunyai dasar
teologis berdasarkan tradisi lama.
Proses Perluasan Skala dan Polarisasi Interen :
Dua Faktor yang Penting dalam Organisasi Moderen
H. Bouman memberikan klasifikasi umum
mengenai sebab-sebab yang mendorong timbulnya organisasi baik di Barat maupun
Timur. Dia berpendapat, bahwa timbulnya organisasi di Barat (organisasi adalah
satu badan, di mana orang dapat memilih menjadi anggota atau tidak, dan hanya
meliputi sebagian dari kehidupan masyarakat), merupakan reaksi terhadap
runtuhnya masyarakat tradisional, terutama keluarga, apalagi lingkungan desa
sudah tidak kuat lagi, sehingga orang mencari keakraban dalam organisasi. Di
Timur, gejala organisasi mulai narnpak, sewaktu masyarakat desa di luar kota
besar masih kuat.
Di samping itu, memang terjadi
polarisasi interen dalam kalangan
masyarakat Islam di Indonesia, yaitu kaum muda dan kaum tua. Dua faktor ini,
mengakibatkan timbulnya gejala baru dan penting dalam struktur umat Islam moderen
di Indonesia, yaitu perkumpulan atas dasar Islam. Akan tetapi munculnya kehidupan
berorganisasi ini tidak dapat hanya dijelaskan dari polarisasi interen tersebut,
dari usaha kelompok tradisional memiliki alat yang lebih kuat untuk menentang
kclompok reformis yang sudah mempunyai organisasi yang lebih baik.
Polarisasi interen di kalangan umat
Islam, konflik dan perbeda.an pendapat, sudah terjadi pada abad ke-I5, tetapi
pada periode tersebut tidak muncul organisasi seperti abad ke-20. Bahwa semua
ini sekarang dilanjutkan kembali dalam bentuk yang lebih kreatif dengan
mendirikan organisasi dan lepas dari polarisasi aktif, merupakan perkembangan
tersendiri yang harus dijelaskan dari kenyataan bahwa perluasan skala baru
muncul dalam semua bidang kehidupan pada abad ke-20 ini. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa baik problematika dalam perluasan skala maupun polarisasi
interen di kalangan umat Islam memberikan pengaruh pada munculnya kehidupan berorganisasi.
Terdapat 4 dorongan untuk membentuk struktur baru Islam di
Indonesia, melalui perkumpulan-perkumpulan yang:
1. Menolak taqlid
2. Nasionalisme yang antri terhadap kolonial Belanda
3. Kesadaran nasional di bidang sosial ekonomi
4. Pembaharuan
pendidikan Islam
Suatu Tipologi Untuk
Pembaharuan Bentuk Organisasi
Dari
beberapa kegiatan, akhirnya dihasilkan satu model yang kurang lebih uniform
dalam organisasi di Indonesia. Titik tolak pertama, melalui jalur pendidikan:
Seperti yang kita lihat pada bab sebelumnya, organisasi Islam yang semula
bertujuan menyelenggarakan pendidikan, akhirnya melebarkan diri menjadi
organisasi yang meliputi bidang tabligh, kegiatan sosial untuk yatim piatu,
pendidikan umum dan agama, pemeliharaan orang sakit, fakir miskin, kegiatan
ilmiah.
Jalur
kedua adalah persis yang mulai dengan tabligh dan publikasi. Dalam fase
selanjutnya persis juga menyelenggarakan kegiatan sekolah ditambah dengan
kegiatan sosial dan kesehatan. A.Hasan dan M.Natsir menjadi pemimpin yang
sangat penting dalam organisasi ini. Jalur
ketiga, dapat dilihat dalam usaha besar di Jawa Barat untuk mengumpulkan zakat.
Organisasi ini mucul di jaman Jepang dan dimotori oleh R.A.A.
Wiranatakusumah.Pada perjalanannya organisasi ini dilarang oleh Jepang.
Jalur
keempat, dapat ditemukan dalam partai politik. Tahun 1970-an empat parpol yang
penting antara lain Perti, NU, Parmusi, dan PSII. Di antara organisasi
tersebut, hanya PSII yang mulai sebagai organisasi sosial ekonomi yang dianggap
sebagai geraka politik nasional. Jalur kelima, dapat dilihat pada jalur
Departemen Agama. Departemen Agama meluaskan kegiatannya di bidang pendidikan
Islam, Dibidang Haji, Bagian penerangan
Agma yang mengelola organisasi masjid, mengumpulkan zakat, mendirikan madrasah.
Jalur keenam, dapat dilihat dengan adanya organisasi dakwah yang melaksanakan
tabligh.
Walaupun
masih dalam keadaan berkembang, namun sudah dapat diambil kesimpulan dari
tendensi yang terjadi, yang berhubungan dengan kedudukan guru dalam kalangan
umat Islam Indonesia.
Pertama
: guru tidak lagi merupakan pusat kegiatan
agama dalam lingkungannya. Guru pada umumnya menjadi anggota dari organisasi
yang lebih besar. Organisasi ini sangat penning untuk menentukan isi ajaran dan
menjamin kemurnian ajaran agama.
Kedua
: kyai dahulu merupakan pribadi yang multi
fungsional. Sekarang fungsi-fungsi tersebut sudah terbagi-bagi. Seorang guru
yang masih berdinas dalam organisasi atau Departemen Agama mempunyai tugas yang
terbatas.
Ketiga
; pertentangan antara penghulu dan kyai,
sekarang ini sudah tidak terasa.
BAB
III
Perubahan Dalam Materi
Pengajaran Agama
1.
Kurikulum Dan Silabus Mata Pelajaran
Ada
dua jenis pengajaran yang paling pokok dalam Islam tradisional, yaitu
pengajaran al-Qur’an dan kitab. Dalam uraian berikut ini akan dikumpulkan
beberapa catatan tentang kurikulum dan silabus mata pelajran secara sistematis
untuk menjawab persoalan-persoalan sejauh mana perubahan ini menimbulkan
perubahan sikap pendapat dikalangan Islam modern di Indonesia.
Uraian
ini akan membandingkan antara pengajaran al-Qur’an tradisional dengan apa yang
diberikan pada madrasah sejak 1915 dan pendidikan Agama untuk sekolahan umum.
Perkembangan pada abad ke-20 ini menunjukan, bahwa
sejumlah sekolah yang agak besar menggunakan kurikulum dan daftar pelajaran
yang mendetail. Disamping itu juga sudah tersedia beberapa artikel yang
membahas perubahan matapelajaran. Perbandinganya jumlah waktu terdahulu dengan
yang sekarang tidak disajikan dalam uraian ini, karena data tentang pendidikan
tradisional tidak cukup terinci. Namun dari bahan yang ada yang di lengkapi
dari informasi lapangan dapat diambil suatu kesimpulan secara global yang
menggambarkan adanya kurikulum dan mata pelajaran Agama.
Pengajian al-Qur’an
Pengajian al-Qur’an tradisional terdiri dari
membaca sebagian al-Qur’an, tambahan pelajaran seperti belajar shalat, aqidah
dan menghafal sifat 20. Madrash ini disediakan bagi anak-anak yang pada waktu
pagi pergi kesekolah umum, dan pada sore mendapatkan pelajaran Agama.
Untuk
madrasah diniyah ini kurikulumnya tersusun sebagai berikut: 1) Membaca
al-Qur’an, 3 jam perminggu 2) Tauhid, 3 jam per minggu 3) Fiqih, 2 jam
perminggu 4) Akhlak, 2 jam perminggu.
Madrasah ini
direncanakan untuk siklus 4 tahun oleh departemen Agama, kemudian pada madrasah
menengah ditambah pelajaran sejarah Islam. Maka kurikulumnya sebagai berikut:
Diniyah
Wustha
Mapel
|
Kelas I
|
Kelas II
|
Kelas III
|
jam/ minggu
|
jam/ minggu
|
jam/ minggu
|
|
Al-Qur’an Hadis
Tauhid
Fiqih
Sejarah Islam
Akhlak
|
3
3
1
2
1
|
3
3
1
3
1
|
3
3
1
3
1
|
Diniyah
Aliyah
Mapel
|
Kelas I
|
Kelas II
|
Kelas III
|
jam/ minggu
|
jam/ minggu
|
jam/ minggu
|
|
Al-Qur’an Hadis
Tauhid
Fiqih
Sejarah Islam
Akhlak
|
3
2
3
1
1
|
3
2
3
1
1
|
3
2
3
1
1
|
Jadi jumlah
jam baik diniyah wustha dan aliyah tetap 10 jam perminggu.
Madrasah
diniyah ini dibentuk dengan keputusan mentri Agama tahun 1964. Untuk mewujudkan
cita-cita konvergensi maka kegiatan lain dapat prioritas dalam kebijaksanaan
Departemen ini, sehingga jumlah sekolah kusus model formal ini agak terbatas.
Registrasi
terjadi pada umumnya hanya disekolah yang mendapatkan subsidi. Di samping itu
efek sosial dari madrasah diniyah hampir tidak ada sehingga hanya sedikit murid
yang meminta ijazah formal dari pendidikan ini.
Selama
tidak ada subsisdi guru pengajaran al-Qur’an tidak diwajibkan mengikuti
kurikulum yang luas itu, yang hanya diperlukan jika ada pengakuan dan subsidi
dari pemerintah. Dari perkembangan ini mengakibatkan bahwa kurikulum mempunyai
nilai yang terbatas, namun demikian ini membuktikan bahwa kurikulum dapat
dianggap sebagai pembuktian cara berfikir para ahli pendidikan Agama mengenai
apa yang di inginkan dan apa yang dicapai.
Dalam
kajian tradisional kunsur akidah dan akhlak tidak begitu jelas kemudian pada
kurikulum ini perhatianya sudah lebih luas, kemudian juga ada penambahan
kurikulum Sejarah Islam yang dulu tidak diperhatikan.
Pengajian al-Qur’an tradisional disini menekankan rumusan
yang tetap dari Agama, sehingga pengajaran modern lebih menemukan untuk pertama
kali, mengenalkan hingga meresapkan nilai-nilai agama.
Pengajian Kitab
Pengajian
kitab tradisional ini terbagi menjadi dua. Pertama, studi bahasa Arab dan
sesudah itu mempelajari isi kitab-kitab Agama yang merupakan unsur penting.
Kalau di Indonesia bersekolah menurut sistem madrasah, dari Ibtidaiyah sampai
IAIN. Dengan mata pelajaran yang selalu terbagi menjadi tiga, bahasa Arab,
pendidikan Agama dan pendidikan umum.
Mengenai
perubahan dalam Islam modern yang sangat menonjol dalam hal pelajran bahasa
Arab dan mata pelajaran umum. Pada bahasa Aarab ditekankan pada kembali pada
al-Qur’an dan hadith. Di madrasah menengah ilmu mustholahul hadith sudah
menjadi pelajaran tersendiri kemudian juga kumpulan hadith-hadith shahih sudah
dipelajari.
Satu perkembangan yang masih dibicarakan adalah bidang
ushuluddin, pada dasarnya perubahan dalam pendidikan Agama yang terjadi karena
perubahan dalam ilmu hadith dan ushuluddin belum begitu mendasar. Pada beberapa
perguruan tinggi mengenai rukun iman masih dipakai sebagai tema umum mata
pelajaran, kemudian mata pelajaran ini juga dianggap sebagai mata pelajaran
perbandingan agama di samping ilmu tauhid dan ushuluddin.
2. Studi Bahasa
Arab
Penghargaan Profan
Terhadap Bahasa Arab
Bahasa
Arab telah dipakai sejak abad ke 17 oleh kelompok besar masyarakat di
Indonesia. Muahammad Natsir melihat dalam bahasa Arab terdapat kemungkinan
bangsa Indonesia maju di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta
keikutsertaan dalam hubungan Internasional. Dalam kenyataanya adanya sebuah
hubungan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya dengan bahsa Arab dan
frekuensi studi bahasa Arab di Indonesia, serta banyaknya orang Indonesia yang
belajar bahasa Arab.
Semua
ilmu yang berkembang di barat dewasa ini di ambil melalui terjemahan Arab.
Dalam hubungan ini kita mencatat beberapa alasan mengapa bahasa Arab sangat
penting diluar motif Agama:
1) Bahasa Arab kaya akan kosa kata dan struktur bahasanya.
2) Bahasa Arab mempunyai kepustakaan besar disemua bidang ilmu.
3) Bahasa Arab adalah bahasa dengan mana semua ilmu pengetahuan
modern dan kesustraan modern dapat dikemukakan dalam bahasa asli dan
terjemahan.
4) Bahasa Arab adalah bahasa dari kelompok terbesar dunia ke tiga.
5) Bahasa Indonesia mempunyai banyak perkataan
yang berasal dari bahasa Arab.
Memang
sistem pendidikan kolonial tidak memberikan tempat untuk pendidikan bahasa
Arab, dibeberapa sekolah di ajarkan bahasa latin, yunani dan bahasa jawa kuno.
Kemudian pada zaman kemerdekaan dilanjutkan disekolah menengah bahasa Inggris
merupakan bahasa asing pertama yang diwajibkan bagi para murid, meskipun
bersifat pasif. Sedangkan bahasa Arab hanya merupakan fakultatif pada beberapa
jurusan di SMA.
Lain
dari hal itu pada sistem madrasah pendidikan bahasa Arab sudah diterapkan
semenjak tingkat ibtidaiyah, tetapi pengajaranya hanya kepustakaan dan
terminologi Agama. Pada zaman kolonial di semua jenis sekolah masih umum
diwajibkan belajar bahasa Arab, namun kemudian pada zaman kemerdekaan huruf
Arab untuk bahasa Indonesia modern sudah tidak dipakai lagi. Oleh karena itu
bahasa Arab untuk bahasa melayu hanya di ajarkan di perguruan tinggi.
Pada
zaman kolonial Belanda di Indonesia didirikan pendidikan setaraf dengan
pendidikan yang ada di belanda dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asing
kedua. Tetapi kemudian tidak pernah diwujudkan lagi di Indonesia, kebanyakan
mereka menganggap bahasa Arab itu sangat sukar dipelajari karena strukturnya
yang kompleks, tetapi selain itu sebnarnya karena kurangnya penghargaan sosial
dalam masyarakat. Maka dari itu orang Indonesia tidak terdorong untuk
mempelajarinya, sejak permulaan abad 20 ini penghargaan terhadap bahasa Arab
menjadi rendah dan sejak itu kondisi semakin menurun saja.
Pengahargaan
Agama Terhadap Bahasa Arab Bahasa al-Qur’an adalah istilah yang digunakan untuk
bahasa Arab, istilah ini memberikan dasar penilaian bahwa bahasa Arab adalah
bahasa Agama. Ketika kita berbicara tentang Islam sudah tentu berbicara tentang
al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an itu dalam bahasa Arab. Dalam khutbah oarang
selalu berbicara dalam bahasa Aarab kemudian menterjemahkanya yang dimulai
dengan “artinya kurang lebih dan sebagainya”. Dengan ucapan tersebut dia
memberikan penghormatan yang tinggi terhadap teks asli dan menyatakan
terjemahan itu tidak asli. Kutiapan al-Qur’an selalu dimulai dengan teks asli
kemudian terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Peninjauan dari barat menyatakan kepada orang Indonesia
bahwa yang menpersulit masuknya Islam ke barat karena faktor bahasa Arab yang
digunakan dalam doa dan ibadah, atau apakah membaca al-Qur’an dalam bahasa
Inggris juga mendapatkan pahala? maka jawabanya selalu mendapatkan pahala,
namun lebih bagus dengan bahasa Arab. Yang paling utama itu mengerti atau
tidaknya arti, semua mendapatkan pahala yang sama. Kemudian terjemahan itu
sangat penting, tetapi yang dibicarakan akhirnya adalah keistimewaan bahasa
Arab. Al-Qur’an itu diturunkan Allah dalam bahasa Arab.
Memang
ada nuansa lain dari ulama’ yang keras bermazhab Syafii seperti Arsyad Thalib
Lubis yang mempersoalkan: apakah berpahala membaca al-Qur’an tanpa mengerti
artinya. Al-Qur’an dan hadith menganjurkan untuk membaca al-Qur’an tanpa syarat
harus mengerti artinya atau tidak. Hal ini di ambil kesimpulan bahwa al-Qur’an
harus di baca dengan bahasa Arab, terlepas dari mengerti artinya atau tidak.
Huruf alif lam mim termasuk huruf al-Qur’an dan hanya Allah yang mengerti arti
tiga huruf ini. Oleh karena itu jelas membaca al-Qur’an baik mengerti artinya
atau tidak akan mendatangkan pahala.
Terdapat
banyak adab dalam membaca al-Qur’an, seperti kewajiban berwudhu tetepi
kewajiban tersebut hanya berlaku bagi kitab yang berbahasa Arab. Tetapi kalau
terdapat terjemahan Indonesia berwudhu hanya sebagai kesusilaan saja, dan
hukumnya tidak wajib. Perihal tentang penghargaan terhadap terjemahan al-Qur’an
dalam bahasa Indonesia ternyata lambat perkembanganya. Para reformis pada
permulaan abad ini menekankan pengetahuan agama yang benar-benar dimengerti. Di
satu segi mereka menganjurkan bahasa Arab yang lebih baik, namun di segi lain
mereka menerjemahkan khutbah jum’at, pengajaran dan tulisan agama dari bahasa
Arab. Tentang ini alasan yang dikemukakan A. Hassan adalah: memang kita harus
meneladani Nabi, dan berkhutbah dalam bahasa Arab karena dimana semua orang
mengerti bahasa Arab, sedangkan sekarang khatib sendiri tidak mengerti apa yang
mereka baca.
Pada
periode 1915-1930an perbedaan boleh tidaknya khutbah jum’at dalam salah satu
bahasa Indonesia sangat tajam. Tetapi makin lama makin umum khutbah jum’at
memakai bahasa Indonesia. Di jawa barat ditemukan data bahwa 27 000 tempat
shalat jum’at, hanya 6000 saja khutbah dilaksanakan dalam bahasa Arab. Di
beberapa tempat ada beberapa versi khutbah jum’at, khutbah pertama dalam bahasa
Arab yang pendek tetapi khutbah kedua dalam bahasa Indonesia lebih panjang.
Hasil ini memang
berbeda dengan bacaan al-Qur’an yang akhirnya mendapatkan kedudukan yang lebih
penting sebagai ritual dan ibadah. Dalam khutbah jum’at tidak diberikan sabagai
jalan keluar agar belajar bahasa Arab, melainkan justru dianjurkan untuk
memakai bahsa Indonesia yang baik. Memang orang Indonesia belajar shalat dan
doa dalam bahasa Arab dengan atau tanpa mengerti artinya. Akan tetapi
perkembangan terakhir semakin banyak dipakai doa dalam bahasa Indonesia.
Keberatan Tehadap
Posisi Bahasa Arab Yang Dominan.
Studi
bahasa Arab dan Islam di Indonesia hampir merupakan dua hal yang tidak berbeda,
meskipun banyak keberatan yang di ajukan terhadap posisi dominan bahasa Arab
dalam studi dan praktek Islam di Indonesia dan kenyataan memang kedua bidang
studi tersebut hampir identik. Salah satu sebabnya mungkin adalah rasa rendah
diri rasa kurang bangga umat Islam Indonesia terhadap identitasnya sendiri,
rasa bangga yang tidak dapat diketemukan dihadapan bangsa Arab.
Di
Indonesia, juga diketemukan realitas sejenis Islam yang khas, misalnya Islam
abangan, meskipun variant ini tidak pernah diberikan dasar teologis atau
yuridis yang benar. Dalam beberapa periode, Islam di India pernah menjadi
kiblat, tetapi pada abad terakhir, Islam di Arab menjadi contoh dominan Islam
di Indonesia.
Kelompok
abangan sering mengajukan protes terhadap bermacam-macam pendapat para santri,
tentang gaya Arab dalam ibadat, dan keengganan para santri untuk menyesuaikan
diri pada kehidupan dan adat jawa. Keberatan tersebut terlihat karena
orientasinya terhadap bahasa dan lingkungan hidup yang keArab-araban.
Pada lembaga pendidikan Agama baik pesantren maupun
madrasah yang mengajarkan mata pelajaran umum, dalam bahasa sehari-hari disebut
dengan sekolah Arab. Nama ini sebenarnya agak asing untuk kebudayaan dan
masyarakat Indonesia. Seperti yang di ungkapkan Abu Hanifah yang mendapatkan
pertanyaan dari beberapa mahasiswa Indonesia di Eropa: mengapa agama Islam
selalu di ajarkan dalam formula dan terminologi Arab? Terus terang saja saya
jawab, saya tidak tahu mengapa bacaan al-Qur’an dan ibadah memakai bahsa Arab.
Beberapa catatan
tentang praktek pengajaran bahsa Arab.
Kenyatan
menunjukan bahwa dari tingkat SD hingga Universitas masih sering pengajaran
bersifat pengajaran Ibadah dan bacaan al-Qur’an saja. Hal ini menunjukan bahwa
pendidikan hanya mempelajari kaidah-kaidah tajwid dan penjelasan disekitar arti
kalimat Arab. Demikian pula sekolah pada tingkat ibtidaiyah semua buku
pelajaran Agama selalu ditulis dengan bahasa Arab, hal ini berarti bahwa
pelajaran bahasa Arab tidak hanya pada jam pelajaran bahasa Arab saja.
Praktek percakapan aktif bahasa Arab hampir secara khusus
dilaksanakan pada lembaga pendidikan Islam yang mempunyai asrama, terutama
pesantren tradisional, dengan begitu sebenarnya telah dikembangkan suatu aspek
lain dari bahasa Arab, yaitu bahasa Arab sehari-hari. Tetapi kenyataanya para
murid belum sepenuhnya akrab dengan semua aspek bahasa Arab dan kebudayaanya
karena para guru hampir semuanya orang Indonesia dan perhatian khusus hanya
diberikan pada bacaan agama.
Mengenai hubungan intern Indonesia, tekanan pada studi
bahasa Arab terutama ditekankan pada didaktik yang baik untuik penguasaaan
bahasa Arab, hal ini menunjukan beberapa aspek: pertama, tekanan pada
bahasa Arab berarti juga menekankan pada inti akidah agama. Kedua,
peoses Islamisasi di Indonesia makin lama makin maju.Kondisi ini diantaranya
karena pengetahuan bahasa Arab yang semakin baik dengan demikian makin lama
makin banyak orang yang memahami arti dari Islam dan al-Qur’an.
3. Lingkungan Hidup
Khas Santri
Dalam hal ini santri bukan hanya dibatasi pada pengertian
orang yang belajar dipesantren tradisional saja, melainkan juga para murid
madrasah atau lembaga pendidikan lain yang mengikuti konsep Departeman Agama.
Memang sebagian juga menolak tentang istilah ini istilah santri hanya untuk
pesantren tradisional dan tidak untuk murid sekolah Islam yang modern. Namun
anggapan seperti itu ditolak oleh beberapa mahasiswa IAIN dan pelajar PGA.
Karena para murid dan mahasiswa ini masih hidup di lingkungan yang lepas dari
lingkungan murid sekolah umum, maka istilah santri ini masih dapat diterima
meskipun dengan reserve.
Pujian Terhadap
Lingkungan Hidup Santri
Pendidikan
khas pesantren mampu menanamkan emosi keagamaan yang kuat kepada para murid.
Dr. A. Mukti Ali dalam salah satu tulisanya mengemukakan hal itu sebagai
berikut: “Didikan pesantren ada baiknya namun ada pula kurangnya. Baiknya
karena ajaran agama yang dilakukan dapat mendidik perasaan agama, menanam rasa
keagamaan. Mengaji dengan lagu dan irama yang tentu itu merindukan hati kepada
yang jauh dan ghaib, kepada Allah yang maha Esa, yang menjadikan seru sekalian
alam.
Pengetahuan
agama yang didapat dengan mengaji itu tidak dalam. Orang tak tahu arti yang
dibaca dengan lagu yang merindukan jiwa. Tetapi perasaaan agama menjadi
mendalam, jiwa terdidik kejalan yang suci dan murni, dan agama yang tertanam
dalam jiwa sejak kecil itu tetap menjadi pelita seumur hidup.”
Pada
abad ke-20 pesantren memang merupakan dunia tersendiri yang mempunyai adat dan
norma tersendiri karena pada saat itu belum mengalami persaingan yang jelas.
Persaingan ini muncul ketika berdirinya sekolah-sekolah. Pada tahun 1969 dalam
salah satu pidatonya, Natsir memberikan pemikiran yang bernuansa tentang
pendidikan Islam di Indonesia, penilaian sosialnya dibandingkan dengan barat
yang bersifat profan ditinjau dari dunia pesantren.
Sistem
pesantren merupakan obat untuk semua penyakit, disamping merupakan alat yang
murah dalam pelaksanaan pemberantasan buta huruf, karena guru pesantren tidak
digaji atau memungut uang sekolah. Keuntungan dari sistem pesantren ini
terletak pada kenyataan bahwa para murid mempunyai hubungan yang insentif satu
sama lain dalam lingkunagan hidup mereka. Dalam pendidikan pesantren orang yang
keluar dari peseantran sangat dihargai dan dapat mandiri, sedangkan sekolah
barat hanya dididik untuk bergantung dengan orang lain.
Yang menjadi penghargaan dari pesantren diantaranya
karena demokratisnya, murid mendapat perlakuan yang sama, misal bekerja di
sawah untuk menuai padi, mendoakan sesama muslim di kuburan, ini merupakan
ikatan persaudaraan yang kuat. Banyak kata-kata indah yang memuji pesantren
sebagai lembaga dan benteng Islam, namun kenyataanya pesantren dan madrasah
secara sosial makin lama makin kurang dihargai.
Penghargaan yang
makin kurang terhadap pesantren
Timbulnya
pemikiran dan sikap yang menganggap bahwa pesantren itu hanya merupakan tempat
buangan bagi anak-anak mereka yang nakal atau karena gagal disekolahan umum.
Jarang orang tua yang memasukan anaknya ke pesantren dengan tujuan untuk
dididik menjadi seorang kyai atau ulama. Akibatnya posisi pesantren makin lama
makin sulit. Anggapan seperti ini karena pesantren dianggap tidak bisa memenuhi
tuntutan hidup di zaman modern, dimana setiap orang memerlukan lapangan
pekerjaan. Maka dari itu pesantren hanya dianggap sebagai konsumsi untuk
kehidupan akhirat.
Suatu hal yang
tragis dewasa ini adalah belum didapatkanya lapangan kehidupan diluar keagamaan
setelah mereka ini berhasil menyelesaikan penidikanya dari sekolah-sekolah
Agama, seperti madrasah, pesantren maupun perguruan tinggi. Berkaitan dengan
hal itu, persoalan yang sering diperdebatkan oleh orang luar adalah, apakah
orang Indonesia merupakan betul-betul mayoritas Islam? Ini menunjukan budaya
yang menyimpang dari kemurnian Islam. Sedangkan mereka yang menyatakan bangsa
Indinesia mayoritas Islam itu dilihat dari banyaknya orang Indonesia yang
menyatakan dirinya Islam. Terlepas dari persoalan di Indonesia secara
keseluruhan, jelaslah bahwa santri akan dididik melalui ajaran mereka yang
dipersiapkan untuk kehidupan yang akan datang.
Beberapa perubahan
dalam lingkungan kehidupan pesantren modern yang tidak begitu menonjol.
Beberapa
perubahan itu pada zaman modern ini diciptakan pesantren terbuka, dimana para
santri pergi ke sekolah di luar pesantren pada siang hari. Mirip seperti asrama
atau kos pesantren yang letaknya di dekat kota besar sering digunakan sebagai
tempat mondok mahasiswa diperguruan tinggi, yang mencari asrama murah disamping
tempat untuk menembah pengetahuan Agama.
Selain itu juga sekarang ini di dalam pesantren sudah
didirikan sebuah madrasah, maka tradisi lama juga masih dilanjutkan para murid
belajar di masjid dengan tidak memakai bangku seperti dimadrasah dan membaca
kitab tradisional tanpa terjemahan dan tanpa huruf latin. Kalau di madrasah
selalu dipakai bahasa Indonesia. Kombinasi ini dapat terjadi dengan berbagai
bentuk, kadang-kadang terjadi guru dan murid pesantren berbeda tempat dan cara
mengajar dengan madrasah, pada tempat lain pesantren hanya merupakan pendidikan
tambahan bagi pendidikan madrasah.
BAB
IV
Penghargaan
Agama
Terhadap
Pendidikan Umum
1. Penolakan
Teoritis Adanya Perbedaan Antara
Ilmu Agama Dan Umum
Menurut
pendangan Islam, Islam bukan hanya semata-mata
agama saja, rnelainkan mencakup aspek-aspek lainnya dalam kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam menolak pemisahan antara agama dan aspek-aspek
kehidupan lainnya. Dasar inilah dijadikan alasan Mohammad Natsir menolak pemisahan
pendidikan agama dengan pendidikan umum. Penolakan tersebut, terutama juga
terlihat dalam kelompok reformis yang mencita-citakan untuk kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadits, kembali ke zaman Rasulullah, di mana agama dan aspek
kehidupan lainnya dalam masyarakat masih terpadu.
M. Natsir memberikan penghargaan profan kepada
pesantren yang bukan sekedar merupakan tempat pendidikan agama, melainkan juga
sebagai pendidikan yang mampu menghasilkan kelompok intelektual yang yang
setaraf dengan lulusan sekolah gubernemen. Dasar
inilah dijadikan alasan Muhammad Natsir menolak pemisahan pendidikan agama
dengan pendidikan umum. Penolakan
tersebut, terutama juga terlihat dalam kelompok reformis yang mencita-citakan
untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, kembali ke zaman Rasulullah,
dimana agama dan aspek kehidupan lainnya masih terpadu.
Integrasi
antara sistem sekolah dan
madrasah, terutama diperjuangkan di Aceh. Pada bulan Nopember 1967, diusulkan
agar kurikulum sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah diselaraskan. Konsep baru
(ilmu modern, ilmu barat, ilmu dunia),
harus diintregasikan dengan konsep lama (lmu pengetahuan tradisional,
pengetahuan agama, ilmu tentang akherat). Hal itu merupakan rumusan mengenai
cita-cita yang dikembangkan oleh pendidik Islam. Terlihat pada waktu
Hamka membicarakannya dengan Soekarno. Ide yang dikemukakan Hamka ini
menghasilkan istilah baru, ulama intelek, yaitu mereka yang ahli di bidang
agama dan memenuhi kriteria intelek menurut ukuran sistem sekolah.
2. Berbagai
Penghargaan Positif Terhadap Pendidikan
Umum
Penghargaan
ulama terhadap pendidikan
umum tidak berpengaruh terhadap pendidikan agama dalam arti terbatas. Hal ini
berarti bahwa pendidikan umum tidak berpengaruh terhadap isi pelajaran Agama.
Dasar
pertama, untuk studi ilmu pengetahuan umum Islam mendorong untuk mengadakan
studi mengenai bermacam-macam ilmu pengetahuan. Sering juga dikatakan bahwa
Islam tidak mengenal perbedaan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Islam
selalu menganjurkan dan mendorong mencari ilmu, malah juga dikatakan bahwa
semua hasil ilmu pengetahuan modern telah ada dalam al-Qur’an. Sebab kedua,
untuk menilai secara positif ilmu-ilmu umum ini berhubungan erat dengan
penghargaan sosial. Pemimpin agama pada
umumnya mendapat pendidikan agama yang mendalam.
Dasar
ketiga, berkenaan dengan persyaratan dalam
masyarakat Indonesia modern bagi mereka yang ingin meraih karir dalam
masyarakat, harus memiliki ijazah yang mencantumkan derajat pendidikan umumnya.
Mata pelajaran umum yang dimasukkan ke madrasah, pada umumnya merupakan mata
pelajaran yang mempersiapkan untuk jabatan (white collar job).
3. Beberapa Keberatan
Terhadap Masuknya Pelajaran Umum
Pada
masyarakat pedesaan yang terisolir, rencana pendidikan dari Departemen Agama
merupakan suatu bentuk peralihan dari pendidikan Agama tradisional kepada
bentuk madrasah dengan cap Agama yang masih kuat, lebih mudah diterima dari
pada sekolah umum yang kurang bersifat agama.
Salah
satu sebab mengapa sejumlah pesantren dan madrasah tidak dapat mengembangkan
pendidikan umum adalah karena kenyataan bahwa pendidikan umum jauh lebih mahal
dari pendidikan Agama. Para guru pendidikan
umum kebanyakan minta gaji yang lebih tinggi dan mereka juga segan datang ke
pesantren yang terletak di pelosok.
Keadaan
ini juga sering merupakan sebab mengapa pesantren di daerah pedesaan yang
mendirikan madrasah di lingkungannya sering kesulitan mendapatkan guru mata
pelajaran umum. Secara tradisional, pendidikan agama diberikan secara gratis karena dianggap sebagai pekerjaan yang berpahala di akherat kelak.
Pada
tahun 1968, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
di Yogyakarta memulai pendidikan baru yang dinamakan pendidikan ulama tarjih.
Alasan mendirikan pendidikan ini, karena adanya pendapat sejumlah pimpinan
Muhammadiyah yang menyatakan bahwa
lulusan IAIN atau fakulltas Agama di perguruan tinggi Islam tidak menguasai
bahasa Arab untuk menggali langsung pada sumber Agama.
Sebagai
kesimpulan dapat dikemukakan bahwa fakta terakhir menunjukkan bahwa pendidikan
umum di pesantren sudah tidak dipercayai
lagi, bahkan dapat dikatakan gagal, dengan kembalinya pesantren kepada
bentuk pengajaran agama semata-mata.
Dalam
suatu ceramah tahun 1953, Mohammad Natsir pernah mengemukakan dua kemungkinan
reaksi terhadap dunia Barat, yaitu model
Turki yang menyesuaikan diri dengan Barat dan model Yaman yang mengisolasikan
diri dari Barat. Sebagai jalan tengah Mohammad
Natsir menganggap Mesir sebagai contoh yang baik. Mesir, menurut Natsir,
bermaksud mempertahankan Islam dari infiltrasi Barat dengan cara mengambil
sejumlah senjata dari Barat.
Kecenderungan
yang disarankan dalam buku ini sudah dapat diduga sebelumnya oleh Mohammad
Natsir, yaitu dari pesantren tradisional diusahakan sintesa antara pesantren
dan pendidikan Barat. Namun sintesa tersebut ternyata lemah. Ia mungkin hanya
berfungsi sebagai model peralihan dan bukan sebagai alat penghubung yang permanen.
Komentar