HARI SANTRI NASIONAL DI MASA PANDEMI
Tadarus Di HSN 2020 |
HSN MASA PANDEMI-Dalam peringatan Hari Santri tanggal 22 Oktober 2020 yang diperingati secara serentak di Indonesia dengan puncak acara upacara.Upacara Hari Santri di ikuti oleh bapak ibu guru MTsN 1 Klaten Fillial Jeblog dengan Pembina upacara Muhammad Amirudin selaku Pimpinan Madrasah, Dalam pelaksanaan Upacara selalu menjaga dan melaksanakan aturan protocol kesehatan dengan ketat untuk memutus mata rantai pandemi Kovid 19.
Pembina upacara menyampaikan amanat dengan tema “SANTRI SEHAT INDONESIA KUAT”.Usai upacara Peringatan Hari Santri tahun 2020 dilanjutkan dengan kegiatan khataman Al-Qur’an yang diikuti semua bapak ibu guru dan peserta didik secara virtual.Pembina upacara juga menyampaikan ucapan terima kasih telah meluangkan waktunya untuk mengikuti kegiatan upacara, peringatan Hari Santri tahun 2020.
Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober
2015 sebagai Hari Santri Nasional. Sudah diperkirakan sebelumnya kalau Hari
Santri Nasional (HSN) itu akan dikukuhkan, meskipun bersifat pro dan kontra.
Pertama, karena sudah merupakan janji politik Pak Jokowi Widodo sewaktu
kampanye Capres 2014. Kedua, tuntutan dari sebagian komponen umat Islam, dalam
hal ini Nahdlatul Ulama, begitu kuat dengan dukungan pihak Kementerian Agama
untuk penetapan HSN itu.
Hari Santri Nasional jangan sampai hanya mengukuhkan
ekslusivitas kelompok Islam yang disebut santri, baik santri dalam makna
kategori sosial keagamaan berhadapan dengan nonsantri maupun santri sebagai
komunitas pesantren. Bukan berarti penulis tidak mendukung kaum santri, karena
di tubuh berbagai kelompok Islam pun terdapat santri dalam dua kategori
tersebut. Namun dukungan tersebut tidak harus dengan penetapan Hari Santri
Nasional, yang lebih bersifat verbalisme.
Demikian halnya dengan penetapan 22 Oktober sebagai
HSN sangat ekslusif hanya untuk mengenang dan menghargai peristiwa satu
golongan. Tanggal tersebut dipilih sebagai peringatan “Resolusi Jihad” tahun
1945 yang diprakarsai KH Hasyim Asy’ari dan kaum Nahdliyin. Padahal peristiwa
tersebut hanyalah bagian dari perlawanan rakyat Surabaya terhadap Sekutu yang
dipimpin Soetomo alias Bung Tomo yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945
yang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Dalam penelitian Benedict Anderson, Bung
Tomo itulah sebagai aktor utama penggerak perlawanan rakyat Surabaya itu,
bersama dengan Soemarsono dan kawan-kawan dalam Barisan Pemuda Republik
Indonesia. Bung Tomo juga melalui Radio Pemberontakan mengambil prakarsa
membakar semangat perlawanan rakyat dengan pekik “Allahu Akbar” pada setiap awal
seruannya. Dari seruan Bung Tomo yang relijius itulah komponen-komponen rakyat
kemudian terpanggil, termasuk dari kalangan umat Islam.Tadarus Virtual
Penulis : Muhammad Amirudin
Komentar